Friday, October 18, 2024

Harmoni Alam di Bawah Langit Gresik

 


Di sebuah kota kecil di tepi pantai Jawa Timur, tepatnya di Gresik, tinggal seorang mahasiswa bernama Bima. Bima adalah seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang sedang menempuh pendidikan di jurusan Biologi Lingkungan. Semangatnya untuk belajar tentang alam begitu besar, namun ia sering kali bingung ketika membedakan antara ekologi dan ilmu lingkungan. Hingga suatu hari, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita tua bijaksana bernama Nenek Laras.

 

Nenek Laras adalah seorang ahli ekologi dan pemilik sebuah rumah kecil di pinggir hutan bakau. Konon, ia telah melakukan penelitian selama puluhan tahun tentang ekosistem mangrove di sekitar daerah itu. Bima sering melihatnya duduk di depan rumah, mengamati burung-burung yang terbang di atas air payau. Ketertarikannya pada kehidupan satwa liar dan keindahan alam membuat Bima memberanikan diri untuk mendekat.

 

“Nenek, bolehkah aku bertanya?” sapa Bima dengan hati-hati. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang ekologi dan ilmu lingkungan, tapi aku sering kali bingung. Apakah Nenek bisa menjelaskannya?”

 

Nenek Laras tersenyum hangat. “Tentu saja, Nak,” katanya, sambil mempersilakan Bima duduk di bangku kayu di sebelahnya. “Mari aku ceritakan sesuatu. Kau lihat burung-burung camar itu?” ujarnya sambil menunjuk ke arah burung-burung yang sedang mencari makan di antara akar-akar bakau. “Ketika kita berbicara tentang bagaimana burung-burung ini berinteraksi dengan air, pohon bakau, dan ikan-ikan kecil di sini, kita sedang mempelajari ekologi. Ekologi adalah tentang bagaimana semua makhluk hidup ini berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungannya. Setiap spesies di sini memiliki peran, dan kita mencoba memahami pola serta proses yang terjadi di alam.”

 

Bima mengangguk, berusaha mencerna penjelasan Nenek Laras. “Jadi, ekologi lebih fokus pada interaksi di dalam ekosistem itu sendiri?”

“Benar,” jawab Nenek Laras. “Tetapi ilmu lingkungan berbeda. Ilmu lingkungan berfokus pada dampak manusia terhadap alam dan mencari cara untuk memperbaikinya. Misalnya, kita tidak hanya mempelajari bagaimana ekosistem mangrove berfungsi, tetapi juga bagaimana polusi dari pabrik-pabrik di sekitar sini memengaruhi air dan merusak habitat hewan-hewan di sini. Kita kemudian mencari solusi untuk masalah ini, seperti mengembangkan kebijakan atau teknologi untuk mengurangi polusi.”

 

Bima mulai memahami perbedaan itu, tapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Apakah ada hubungannya dengan keberadaan pabrik-pabrik di sekitar sini?” tanyanya penasaran.

“Ah, pertanyaan yang bagus,” kata Nenek Laras. “Beberapa dekade lalu, tidak jauh dari sini berdiri pabrik semen besar yang membuang limbahnya ke sungai. Burung-burung seperti camar dan kuntul mulai berkurang karena ikan-ikan di muara ini terkontaminasi. Aku terlibat dalam penelitian yang menunjukkan dampak pencemaran itu terhadap ekosistem dan mengusulkan cara-cara untuk membersihkan air serta mengembalikan kehidupan di sekitar mangrove.”

 

Mendengar cerita itu, Bima mulai merasakan panggilan hati untuk mengambil peran lebih besar dalam menjaga alam. “Jadi, jika aku ingin menjadi bagian dari solusi, ilmu mana yang harus kupelajari lebih dalam, Nek? Ekologi atau ilmu lingkungan?”

 

Nenek Laras tertawa kecil, suaranya hangat dan menenangkan. “Nak, kau tidak perlu memilih salah satu. Kedua ilmu itu saling melengkapi. Kau bisa menjadi seorang ahli ekologi yang mempelajari bagaimana ekosistem berfungsi, dan sekaligus memanfaatkan pengetahuan itu untuk melindungi lingkungan dengan ilmu lingkungan. Ingat, menjaga harmoni alam tidak hanya membutuhkan pemahaman, tetapi juga tindakan.”

 

Bima tersenyum, seakan-akan matanya terbuka untuk melihat dunia dengan cara yang baru. Hari itu, di bawah langit Gresik yang memerah oleh matahari terbenam, ia bertekad untuk mendalami keduanya, agar kelak bisa menjadi penjaga alam yang bijaksana seperti Nenek Laras.

 

Selengkapnya