Di
sebuah kota kecil di tepi pantai Jawa Timur, tepatnya di Gresik, tinggal
seorang mahasiswa bernama Bima. Bima adalah seorang pemuda berusia dua puluh
satu tahun yang sedang menempuh pendidikan di jurusan Biologi Lingkungan.
Semangatnya untuk belajar tentang alam begitu besar, namun ia sering kali
bingung ketika membedakan antara ekologi dan ilmu lingkungan. Hingga suatu
hari, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita tua bijaksana
bernama Nenek Laras.
Nenek
Laras adalah seorang ahli ekologi dan pemilik sebuah rumah kecil di pinggir
hutan bakau. Konon, ia telah melakukan penelitian selama puluhan tahun tentang
ekosistem mangrove di sekitar daerah itu. Bima sering melihatnya duduk di depan
rumah, mengamati burung-burung yang terbang di atas air payau. Ketertarikannya
pada kehidupan satwa liar dan keindahan alam membuat Bima memberanikan diri
untuk mendekat.
“Nenek,
bolehkah aku bertanya?” sapa Bima dengan hati-hati. “Aku ingin tahu lebih
banyak tentang ekologi dan ilmu lingkungan, tapi aku sering kali bingung.
Apakah Nenek bisa menjelaskannya?”
Nenek
Laras tersenyum hangat. “Tentu saja, Nak,” katanya, sambil mempersilakan Bima
duduk di bangku kayu di sebelahnya. “Mari aku ceritakan sesuatu. Kau lihat
burung-burung camar itu?” ujarnya sambil menunjuk ke arah burung-burung yang
sedang mencari makan di antara akar-akar bakau. “Ketika kita berbicara tentang
bagaimana burung-burung ini berinteraksi dengan air, pohon bakau, dan ikan-ikan
kecil di sini, kita sedang mempelajari ekologi. Ekologi adalah tentang
bagaimana semua makhluk hidup ini berhubungan satu sama lain dan dengan
lingkungannya. Setiap spesies di sini memiliki peran, dan kita mencoba memahami
pola serta proses yang terjadi di alam.”
Bima
mengangguk, berusaha mencerna penjelasan Nenek Laras. “Jadi, ekologi lebih
fokus pada interaksi di dalam ekosistem itu sendiri?”
“Benar,”
jawab Nenek Laras. “Tetapi ilmu lingkungan berbeda. Ilmu lingkungan berfokus
pada dampak manusia terhadap alam dan mencari cara untuk memperbaikinya.
Misalnya, kita tidak hanya mempelajari bagaimana ekosistem mangrove berfungsi,
tetapi juga bagaimana polusi dari pabrik-pabrik di sekitar sini memengaruhi air
dan merusak habitat hewan-hewan di sini. Kita kemudian mencari solusi untuk
masalah ini, seperti mengembangkan kebijakan atau teknologi untuk mengurangi
polusi.”
Bima
mulai memahami perbedaan itu, tapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan.
“Apakah ada hubungannya dengan keberadaan pabrik-pabrik di sekitar sini?”
tanyanya penasaran.
“Ah,
pertanyaan yang bagus,” kata Nenek Laras. “Beberapa dekade lalu, tidak jauh
dari sini berdiri pabrik semen besar yang membuang limbahnya ke sungai.
Burung-burung seperti camar dan kuntul mulai berkurang karena ikan-ikan di
muara ini terkontaminasi. Aku terlibat dalam penelitian yang menunjukkan dampak
pencemaran itu terhadap ekosistem dan mengusulkan cara-cara untuk membersihkan
air serta mengembalikan kehidupan di sekitar mangrove.”
Mendengar
cerita itu, Bima mulai merasakan panggilan hati untuk mengambil peran lebih
besar dalam menjaga alam. “Jadi, jika aku ingin menjadi bagian dari solusi,
ilmu mana yang harus kupelajari lebih dalam, Nek? Ekologi atau ilmu
lingkungan?”
Nenek
Laras tertawa kecil, suaranya hangat dan menenangkan. “Nak, kau tidak perlu
memilih salah satu. Kedua ilmu itu saling melengkapi. Kau bisa menjadi seorang
ahli ekologi yang mempelajari bagaimana ekosistem berfungsi, dan sekaligus
memanfaatkan pengetahuan itu untuk melindungi lingkungan dengan ilmu
lingkungan. Ingat, menjaga harmoni alam tidak hanya membutuhkan pemahaman,
tetapi juga tindakan.”
Bima
tersenyum, seakan-akan matanya terbuka untuk melihat dunia dengan cara yang
baru. Hari itu, di bawah langit Gresik yang memerah oleh matahari terbenam, ia
bertekad untuk mendalami keduanya, agar kelak bisa menjadi penjaga alam yang
bijaksana seperti Nenek Laras.