Presiden Joko Widodo merencanakan pembangunan pusat lumbung pangan terintegritas (food estate) di bekas area pengembangan lahan gambut (PLG), lahan dimana proyek cetak sawah sejuta hektar era Presiden Soeharto pada tahun 1995 dibangun. Lokasinya berada 105 kilometer dari sisi selatan Kota Palangka Raya, tepatnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Pada tahap awal, Bupati Pulang Pisau, Edy Pratowo
menginformasikan bahwa pemerintah akan terlebih dahulu menggarap lahan tersebut
sebesar 165 hektare atau 11,3% dari luas total keseluruhan berkas area PLG
sebesar 1,46 juta hektare.
Walau sudah ada titik terang untuk dilaksanakan,
proyek lumbung pangan nasional ini masih
memiliki beberapa hambatan, salah satuya mengenai konsep lumbung pangan yang
akan dibangun. Pada rencana awal, lumbung pangan disepakai untuk dikembangkan
komoditas tanaman padi dilahan eks PLG. Sedangkan dengan ditunjuknya
Kementerian Pertahanan sebagai pemimpin proyek pada kunjungan Presiden di
Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, 9 Juli lalu. Kementrian pertahanan
mengusulkan agar konsep lumbung pangan
ini dibangun komoditas tanaman pangan strategis seperti singkog, di luar lahan
eks PLG.
Tidak hanya itu, perbedaan konsep dari sisi
pengelolaan dan model bisnis lumbung pangan masih dalam perdebatan. Apakah akan
melibatkan BUMN atau akan dikelola oleh
sebuah badan khusus.
Dilain hal, dari beberapa kajian terdahulu
dibangunnya konsep lumbung pangan berskala besar memiliki risiko yang besar
untuk kembali menggarap kawasan yang dipenuhi lahan gambut tersebut.
Dari hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah, Peneliitian, dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah serta Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Palangka Raya, pada Agustus
2018 diketahui bahwa kesesuian lahan pada area eks PLG masuk kedalam kesesuaian
kelas S-3 yang artinya bahwa akan sangat sulit area eks PLG dikembangkan
sebagai lahan pertanian. Karena adanya
potensi banjir pada saat musim hujan, dan potensi kebakaran lahan pada saat
musim kemarau.
Namun, Hasil kajian berbeda dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui penyusunan dokumen
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang disusun pada Mei-juni 2020.
Diinformasikan dari 1,4 juta hectare eks
Lahan PLG, ada 210 ribu hectare lahan untuk kelas S-1 atau sangat layak bagi
padi persawahan, kesesuaian S-2 seluas 226 ribu yang hanya sesuai untuk padi
gogo dan palawija, sementara kesesuaian S-3 yang hanya cocok untuk perkebunan
sebesar 325 ribu hektare.
Wakil Meneteri KLHK, Allue Dohong menyatakan bahwa
kajian tersebut telah melalui tiga kali konsultasi publik, dimana yang pertama
diadakan bersama perwakilan Komisi IV DPRD Kaukus Kalimantan, kedua Anggota DPD
Kaukus Kalimantan, dan terakhir bersama perwakilan perguruan tinggi dan
peneliti seluruh Kalimantan. “Secara umum mendukung” katanya.
Sementara, Dwi Andreas Santosa, Pakar Bitoeknologi
Tanah dan Genetika, Institut Pertanian Bogor, mengatakan bahwa dia mendukung
hasil kajian yang disimpulkan Bappeda Kalimantan Tengah. Dari pengalamannya
menyusun AMDAL di tahun 1997 sebagai basis proyek PLG 1 juta hektar,
disampaikannya bahwa sebagian besar
lahan eks PLG masuk ke kelas kesesuaian N (non-suitable)
yang artinya sangat sulit melakukan pengembangan budidaya tanaman apapun disana.
Menurutnya kegagalan proyek eks PLG pada era Soeharto sudah cukup menjadi bukti
terhadap kebijakan yang seringkali menyalahi kaidah ilmiah.
Tapi, bukan berarti eks PLG tidak dapat
dibudidayakan, hanya saja Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dengan
biaya yang luar biasa, disamping itu juga lahan-lahan tersebut harus rutin
ditanami berahun-tahun sampai subur. Menurutnya, lahan tersebut sebaiknya
dikembalikan menjadi hutan, karena membangun lumbung pangan di eks PLG bukan
solusi jangka pendek menghadapi krisis pangan yang menurutnya semakin dekat.
Sumber: Tempo.co