Menarik bahwa dari
sosio-arch kita melebar sedikit keunsur pendukungnya, dalam hal ini mengenai
pengelolaan pertanian. Garis besarnya adalah, Mengapa terjadi Involusi
Kesejahteraan Petani / Involusi Pertanian.
Ini hal yang simple
untuk dipikirkan, asal saja kita mau jujur melihat keuntungan dan kerugian dari
Pertanian Tradisional dan Pertanian Modernisme.
Tetapi sebelum kita
membahas itu, ada baiknya kita amati Involusi Pertanian yang terjadi di
Indonesia. Saya membatasi bahasan ini pada scope Indonesia sebagai studi
kasusnya, karena faktor-faktor pendukung industry pertanian di Indonesia sangat
spesifik, dan agak sulit untuk ditinjau dari hanya beberapa perspektif.
Menurut saya
sebenarnya kurang tepat kalau kita menganggapnya seperti pandangan Geertz bahwa
itu terjadi karena peningkatan Jumlah penduduk pada komunitas petani dengan
kondisi sumber daya yang terbatas, sehingga penghasilan penggarapan sawah
semakin hari semakin sedikit yang diistilahkan shared poverty.
Begitu juga kalau
kita mengambil pandangan Nirzalim dan Maliati yang mengatakan bahwa modernisme
telah menyebabkan perubahan pada pola Produksi pertanian, dimana yang
sebelumnya bersifat kolektif, dengan biaya Produksi yang murah, yang kemudian
berubah seiring waktu dengan sistem upah (menambah biaya Produksi).
Menurut saya tidak
sesederhana itu. Fenomena micronya memang seperti itu, tetapi kondisi macro
seperti apa yang mengendalikan terjadinya perubahan itu, dan apakah perubahan
itu adalah satu-satunya penyebab involusi pertanian, ternyata tidak juga.
Ada banyak
faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap kejadian Involusi Pertanian
di Indonesia. Mari kita lihat beberapa ilustrasi.
Booming Pertanian
pada era PELITA (Pembangunan Lima Tahun) disebabkan karena sejak April 1969
Pemerintah mencanangkan REPELITA (rencana pembangunan Lima Tahun) dimana semua
sector menumbuh perekonomian sudah diletakkan rancangan Programnya sampai 30
tahun ke depan. Khususnya untuk Pertanian Booming mulai terjadi pada PELITA III
dan PELITA IV, dimana kita lihat di Sulawesi Selatan Kabupaten-kabupaten
berlomba-lomba mengadakan festival “Lapppo Ase” (Golden Harvest).
Ini sangat jelas
terjadi karena adanya campur tangan Pemerintah untuk membantu masyarakat Petani
dalam hal Bantuan penegetahuan dan teknologi, Pengorganisasian, Tuntunan
Manajemen, Jaminan Pemasaran dan Proteksi. Hasilnya swasembada pangan dan
kesejahteraan petani. Dimana inti rahasianya, nanti kita bahas.
Kalau kita Lebarkan
konteks Pertanian dalam arti yang luas, maka itu mencakup juga:
1. Pertanian Rakyat
2. Perkebunan
(Rakyat dan Perkebunan Besar)
3. Kehutanan
4. Peternakan
(Rakyat dan Perusahaan)
5. Perikanan (darat
dan laut)
Pada era PELITA I
s/d PELITA IV semua sektor ini mendapat perhatian pemerintah dalam semua lini :
Pemrograman, Pembukaan lahan, Permodalan, Bantuan IpTek, Pengorganisasian,
Pembinaan, Jaminan Pasar, dan Proteksi.
Pada era ini
Pengusaha, pemodal, bermain dibawah Kendali pemerintah, untuk menunjang semua
lini di atas, termasuk meningkatkan eksport.
Kemudian masuk Era
Reformasi, dimana kestabilan politik yang terjadi pada era sebelumnya menjadi
rusak oleh suatu sebab (yang tidak saya uraikan disini). Seperti kita ketahui,
ketika suatu Pemerintahan berada dalam kondisi itu, maka program-program
kesejahteraan rakyat menjadi prioritas kesekian. Kalaupun didengungkan, maka
itu lebih dengan tujuan propaganda Politik, bukan dengan tujuan yang
seharusnya.
Kondisi ini
berlangsung selama 30 tahun, yang diperburuk dengan kondisi bahwa Pengusaha,
Pemodal tidak lagi bermain dibawah Kendali pemerintah, tetapi karena sistem
Pilkada dan sistem Pileg membutuhkan dana yang besar, maka terjadi kondisi
sebaliknya, Pemerintah, dengan otonomi daerah yang kebablasan cenderung
bergerak dibawah kendali Pemodal. Pengusaha, Pemodal yang dimaksud disini
adalah yang berkelas menengah sampai yang berkelas Raksasa.
Apa kemudian yang
terjadi dalam kondisi seperti ini?
Tidak adanya
rencana pembangunan jangka panjang yang langgeng, tidak ada Program
kesejahteraan rakyat yang bisa berjalan langgeng, baik di tingkat nasional
maupun di tingkat daerah, yang diakibatkan pergantian Pimpinan dan jajaran
secara “bedol deso”, maka hasilnya adalah :
- Tidak solidnya
Pemrograman,
- Pembukaan lahan
oleh Pemodal Asing,
- Permodalan model
Kapitalis,
- Tidak ada Bantuan
IpTek yang massif
- Tidak ada
Pengorganisasian,
- Tidak ada
Pembinaan Industri,
- Tidak ada Jaminan
Pasar, dan
- Tidak ada
Proteksi
OK.. Kita kembali
ke pengertian Involusi Pertanian, yaitu suatu kejadian dimana perubahan pola
pengelolaan dan hasil Pertanian dengan semua sumberdayanya pernah berkembang,
berevolusi ke suatu kondisi pengelolaan dan hasil yang lebih baik dari
sebelumnya, kemudian terjadi lagi degradasi pola pengelolaan dan hasil
Pertanian yang kondisnya lebih buruk dari Kondisi sebelumnya.
Dari cerita di atas
(yang sayang akurasi kebenarannya tidak didukung oleh data) dapat kita bagi Era
Pertanian di Indonesia menjadi tiga bagian :
1. Era sebelum
REPELITA, yaitu Era Pertanian Rakyat dengan pola pengelolaan secara Gotong
Royong. Karena lahan masih tersedia maka hasil panen yang dikelola secara
tradisional masih bisa mencukupi kebutuhan pangan. Sektor Perkebunan masih
menggunakan manajemen Kolonial, dan masih OK, lengkap dengan Pabrik-pabrik
mengolahan primernnya, sehingga eksport masih bisa berjalan.
2. Era REPELITA
& PELITA, Adalah era dimana kemampuan Rakyat dalam bidang pertanian dan
potensi pertanian di eksplore secara terencana. Pemrograman dan pelaksanaan
disemua lini secara terpimpin oleh pemerintah menghasilkan swasembada pangan
dan kesejahteraan petani secara merata.
3. Era REFORMASI,
Adalah era dimana pemrograman dan pelaksanaan upaya peningkatan pertanian
berupa eksplorasi potensi pertanian mengalami interruptus setiap kali terjadi
pergantian kekuasaan politik, baik di tingkat nasional maupun di tingkat
Daerah. Kita lihat misalnya Booming Jagung dan Ikan Tuna di Gorontalo pada era
Fadel Muhammad, ternyata tidak mampu dikendalikan oleh Gubernur berikutnya dan
berikutnya, karena adanya perbedaan kemampuan pengelolaan ditingkat nasional
dan internasional.
Perbedaan Era 1, 2
& 3 adalah bahwa Pada Era 1 Pengelolaan pertanian berjalan secara
Pra-Kapitalisme. Pada Era 2 Pengelolaan Pertanian berjalan dalam Kendali
Pemerintah, sehingga hegemoni kapitalisme bisa terkendali dan tidak merugikan
Rakyat. Pada Era 3 kondisinya terbalik, Pemerintah cenderung tidak mampu
mengendalikan kapitalisme, sehingga hegemoni kapitalime bisa berjalan massif.
Dan saat hegemoni kapitalisme mencengkeram suatu negara, maka selalu Rakyat
yang akan menjadi korban, dalam konteks ini adalah masyarakat petani.
Sekarang kita
melihat dua kutub.. Pra-Kapitalisme dan Kapitalisme. Awalnya Petani kita hidup
cukup sebagai marhaen dengan dalam Kutub Pra-kapitalisme. Gotong royong cukup
untuk menjawab semua permasalahan. Tetapi ketika kita berbicara tentang
peningkatan Produksi, maka kita harus masuk ke konteks modernisme, dimana semua
lini pengelolaan diatur secara tersistem. Dari sini kita cenderung tertarik ke
Kutub Kapitalisme. Bagaimana agar kita bisa tetap berada di antara 2 kutub itu
dengan tetap mengambil manfaat dari advantage masing-masing dan membuang
disadvantage masing-masing.
Ini membutuhkan
Jawaban yang panjang lebar, tetapi singkatnya dapat kita katakan bahwa bentuk
kerjasama KOPERASI masih merupakan solusi terbaik, yang belakangan ini kita
lihat tidak lagi dibina seperti pada Era 2.
Pembahasan diatas
masih belum memasukkan faktor-faktor sub-system lainnya, seperti adanya Petani
bermodal yang berubah menjadi tuan-tuan Kapitalis kecil, rentenir (kredit) alat
pertanian, anti proteksi, kolusi, Investasi politik, jerat pinjaman luar
negeri, dan sebagainya.