Sejak masa penjajahan
Hindia Belanda, Jakarta telah menjadi pusat akivitas pemerintahan dan
perdagangan pemerintah kolonial. Terkenal dengan nama Batavia, Jakarta
bertransformasi menjadi salah satu ibu kota terkenal di asia bahkan di dunia
dibawah naungan Hindia Belanda. Jakarta menjadi pilihan paling realistis kala
itu sebab Kota Jakarta telah terbentuk sehingga tinggal mengembangkannya
melalui pembangunan infrastruktur. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi
ibu kota negara Indonesia yang menjadi titik tumpu berbagai aktivitas skala
nasional dengan beban yang cukup besar. Aktivitas yang begitu besar Jakarta
harus melayani berbagai macam kebutuhan masyarakat nasional maupun internasional.
Dengan luas sebesar 661,5 km2 harus menampung beban jumlah penduduk 10.467.600
jiwa dengan tingkat kepadaatan penduduk sebesar 15824 jiwa/km2 dengan kata lain
1 km2 wilayah Jakarta, dihuni oleh penduduk sebesar 15.824 jiwa.
Ditinjau lebih lanjut
secara administrative Ibu kota Jakarta bukan merupakan bentuk kota administraif
seperti halnya ibu kota di negara lain, Jakarta merupakan daerah administratif
khusus provinsi (DKI) yang memiliki 5 kota administratif dan 1 kabupaten. Ada
kekhususan yang berlaku pada daerah administratif ini yang diatur dalam undang
undang kekhususan. Sementara itu secara etimologi Ibu kota adalah kota tempat kedudukan
pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Dengan begitu dapat diartikan bahwa Jakarta
merupakan himpunan kota administratif yang menjadi satu wilayah khusus dan
berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara dengan fungsi tambahan lain yang
turut berkembang.
Sejarah Pemindahan Ibu Kota
Dalam perjalanan
sejarahnya, Republik Indonesia telah mengalami beberapa kali pemindahan ibu
kota negara, pada masa awal kmerdekaan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara.
Pada masa itu, Pusat pemerintahan terpaksa berpindah ke Yogyakarta menyusul
adanya pendudukan Belanda di Jakarta. Pusat pemerintahan sempat pula pindah
sementara ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948-6 Juli 1949 namun kembali lagi
ke Yogyakarta sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Pemindahan ibu kota ke beberapa
daerah dilakukan bukan dalam rangka memecahkan masalah teknis dan problem
social ekonomi ibu kota, yang pada saat itu memang belum serumit sekarang.
Pemindahahan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk mengamankan simbol
negara serta mempertahankan kedaulatan NKRI menyusul pendudukan Belanda di
sejumlah kota di Indonesia.
Mengapa Harus Pindah ?
Berdasarkan kajian lembaga
pemerhati lingkungan maupun tata ruang perkotaan, pemindahan Ibu kota menjadi
tema menarik untuk diulas. Dari hasil riset Greenpeace 2018, Ibu kota Jakarta
berada diurutan teratas untuk kaegori kota terpolusi di Asia Tenggara, dengan
kata lain bahwa udara Jakarta sudah tidak layak untuk bagi masyarakat. Kemudian
berdasarkan data kementrian perhubungan mengenai rasio jumlah kendaraan yang
sangat jauh dari persentase pertumbuhan infrasturktur jalan yang seharusnya 15
% pertahun. Data tersebut sejalan dengan laporan inrix 2017, bahwa jakarta
merupakan kota termacet ke 12 di dunia. Belum lagi soal kerugian akibat
kemacetan yang sudah mencapai 100 t pertahun, migrasi penduduk yang membuat
penduduk Jakarta bertambah pesat, kemiskinan dan disparitas perekonomian
diwilayah pinggiran serta degradasi lingkungan Ibu kota Jakarta menjadi masalah
yang tak kunjung selesai. Hal tersebut disebabkan oleh beban Jakarta yang berfungsi
sebagai pusat pemerintahan negara dan juga sebagai pusat bisnis skala
internasional yang menjadikan Jakarta sebagai titik aktivitas pergerakan yang
terkonsentrasi dan memliki tarikan yang cukup kuat yang mempengaruhi pergerakan
masyarakat secara nasional. Jika ditinjau dari aspek tata ruang ibu kota
Jakarta, jauh dari ekspektasi, pemanfaatan ruang yang belum sesuai dengan arahan
pedoman rencana tata ruang yang telah dibuat, misalnya dalam pemanfaatan sempadan
sungai dan proses normalisasi daerah aliran sungai, yang mengakibatkan bencana
banjir tahunan tak pernah bisa dihindari. Padahal peran Jakarta sebagi ibu kota
sangatlah vital. Hajat hidup 260 juta masyarakat Indonesia diputuskan disana
sehingga dibutuhkan kota yang layak, baik dari sisi daya dukung dan daya tampung
ruang sehingga pelayanan terhadap aktivitas yang berjalan dapat efektif dan
efisien. Permasalahan yang ada di Jakarta sangat kompleks, multi sector serta belum
mampu searah dengan tujuan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan sesuai amanat undang-undang.
Wacana Pemindahan Ibu Kota
Diskusi mengenai
pemindahan ibu kota negara republik Indonesia telah ada semenjak awal
kemerdekaann. pada saat Bung Karno menyebut palangkaraya sebagai wilayah yang
ideal untuk menjadi ibu kota negara ketika meresmikan Provinsi Kalimantan Tengah
tahun 1957. Dan bukan kali itu saja Bung Karno menyebut rencana pemindahan ibu
kota dari Jakarta ke Palangkaraya. Kali kedua, Bung Karno menyampaikan
Palangkaraya sebagai calon ibu kota negara pada suatu Seminar di Bandung tahun
1965. Menurut Wijanarka dalam buku Soekarno
& Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, “dua kali Bung Karno mengunjungi Palangkaraya, Kalimantan Tengah untuk
melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan Indonesia”. Alasan Preseiden Soekrno memilih Palangkaraya
karena letak Palangkaraya yang cukup strategis, berada di tengah-tengah
Indonesia. Selain itu, pertimbangan pemerataan pembangunan juga menjadi alasan
kuat.
Pada masa pemerintahan
SBY wacana ini kembali menguat, bahkan telah dibuat skenario pemindahan ibu
kota pada tahun 2010, skenario tersebut diantaranya: Skenario realistis, yaitu ibu kota tetap di Jakarta namun dengan
pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memerbaiki berbagai persoalan
Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban,
banjir, maupun tata ruang wilayah; Skenario
moderat, yaitu pusat pemerintahan dipisahkan dari ibu kota negara.
Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor
historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi
baru; Skenario radikal, yaitu
membangun ibu kota negara yang baru dan menetapkan
pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta
hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi
perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibu kota
baru.
Jika ditelaah masing-masing
skenario diatas, maka pada skenario pertama, sangat sulit direlisasikan, sampai
saat ini belum terlihat perubahan signifikan wajah ibu kota, setelah beberapa
metode dan kajian pemecahan masalah diterapkan ibu kota tetap tak bisa keluar
dari masalah-masalah pokok yang akan dientaskan. Selanjutanya, untuk skenario
kedua, dimana pemisahan ibu kota dari fungsi pemerintahan dengan alasan
historis dinilai kurang tepat. Sebab ibu kota negara melekat dengan fungsi
pemerintahan dimana ia berkedudukan. Sementara untuk skenario ketiga, dilihat
cukup relevan dengan kondisi-kondisi yang ada pada Ibu kota Jakarta saat ini,
namun harus tetap dilakukan dengan pertimbangan yang matang dari segi
penempatan dan tata ruang serta kemampuan pembiayaan pembangunan ibu kota baru
nantinya.
Ibu Kota Pindah Kemana?
Beberapa hari yang
lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa Ibu kota Negara Republik
Indonesia harus dipindahkan di luar jawa. Keputusan tersebut kemudian mejadi
perbicangan di banyak kalangan. Sejalan dengan itu Bappenas selaku institusi
yang bertanggung jawab atas kajian dan perencanaan pemindahan ibu kota telah
melakukan kajian yang mendalam selama 1,5 tahun terakhir. Baik terhadap
kemapuan daya dukung ibu kota Jakarta saat ini maupun daerah-daerah yang
menjadi calon ibu kota. Timbul beberapa spekulasi mengenai lokasi yang tepat untuk
menjadi ibu kota negara nantinya. Ada 2 pulau yang menurut Bappenas layak dari
segi letak strategis maupun daya dukung serta tingkat keamanan dari bencana.
Adalah Kalimantan dan Sulawesi, untuk pulau Kalimantan nama yang menguat adalah
Palangka Raya Kalimanta Tengah, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Penajam Paser
Utara Kalimantan Timur. Untuk Sulawesi, kandidat yang paling mungkin adalah
Mamuju Sulawesi Barat, meskipun sempat juga ada usulan dari tokoh bangsa untuk
memasukkan Makassar dan Pare-pare sebagai kandidat calon ibu kota. Bahkan Gubernur dari keempat provinsi tersebut
telah diikutkan dalam diskusi terbatas oleh Bappenas. Memang jika dilihat
secara geografis melalui Peta Indonesia, keempat wilayah ini letaknya cukup
strategis dan berada di bagian tengah dari wilayah Indonesia. Dengan kata lain,
keberadaan ibu kota nantinya akan memangkas jarak dan waktu tempuh menuju ibu kota,
utamanya bagi sebagian wilayah yang berada di tengah dan timur Indonesia.
Terlepas dari kota mana yang dipilih, tergantung dari hasil kajian Bappenas dan
keputusan bersama antara Pemerintah dan DPR.
Pemerataan Pembangunan
Pemindahan ibu kota
didasari oleh keberadaan Jakarta yang sudah tidak layak dalam mengakselerasi
pembangunan dan mendukung fungsi pemerintahan sebagai fungsi utama ibu kota
negara. Banjir, kemacetan, polusi udara, degradasi lingkungan, tata ruang
wilayah serta kemiskinan menjadi masalah yang belum juga teratasi. Ketimpangan
pembangunan antara pulau jawa dengan pulau lain juga menjadi alasan dalam
pemindahan ibu kota di luar jawa. Selain
dari pada itu, pemindahan ibu kota juga sejalan dengan asas pembangunan nasional
yaitu pemerataan dan keadilan. Pemerataan pembangunan baik itu infrasruktur
maupun sumberdaya manusia, menjadi hal mautlak jika Indonesia ingin menjadi
negara maju. Nantinya ibu kota baru akan membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru
yang memberi dampak bagi wilayah-wilayah sekitarnya (trickling down effect) dan
memantik munculnya aktvitas ekonomi baru (aglomerasi). Dengan begitu ibu kota
negara dapat fokus pada pelayanan fungsi pemerintahan dan Jakarta fokus sebagai
pusat bisnis dan perdagangan skala nasional dan internasional. Yang tak kalah
penting juga adalah komitmen pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tersebut.
Untuk memindahkan ibu kota dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru,
diperlukan aturan dan kebijakan yang mempertegas dan mengikat. Perwujudan kebijakan
tersebut dilakukan dengan melibatkan partisipasi pihak swasta dan masyarakat
baik dalam perencanaan, pemanfaatan seta pengendalian. Dan pada akhirnya, keputusan
pemindahan ibu kota harus tetap dimaknai sebagai upaya dan proses dalam menyelesaikan
persoalan Jakarta serta meningkatkan kejahteraan masyarakat melalui pemerataan
pembangunan yang berkelanjutan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia.