Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*
Cuaca
ekstrem yang melanda Sulawesi Selatan beberapa waktu belakangan, telah memicu
terjadinya bencana yang melumpuhkan sebagian wilayah metropolitan mamminasata
dan beberapa daerah lainnya. Ini merupakan kali kedua setelah kejadian yang
sama terjadi sekitar akhir Desember 2018 lalu. Sebetulnya di awal Desember,
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar, telah
menyampaikan peringatan dini terkait musim hujan yang akan memasuki fase
puncak. Curah hujan dengan intensitas tertinggi sudah diprediksi terjadi di
bulan Desember dan Januari ini. Karenanya, daerah-daerah telah diingatkan untuk
sedini mungkin melakukan langkah antisipasi, terutama pada wilayah rawan bencana.
Pada
kesempatan lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan
juga telah melansir data jumlah dan dampak kejadian bencana alam yang terjadi
selama 2018. Dari 217 kali kejadian bencana, banjir dan tanah longsor termasuk
yang paling sering terjadi pada 2018 lalu. Jumlah korban terdampak sebanyak
13.729 jiwa dan 11.650 unit rumah terendam.
Tragedi
banjir besar yang terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya pada 22 Januari 2019,
menerjang wilayah Sulawesi Selatan di 70-an Kecamatan pada 13 Kabupaten/Kota.
Hingga akhir Januari, setidaknya 79 orang dinyatakan meninggal dalam kejadian
ini. Pada sepuluh tahun terakhir, ini
merupakan banjir terparah yang pernah ada. Sangat parah karena cakupan wilayah
terdampak bencana yang begitu luas.
Dari
dua kejadian terakhir bencana besar yang melanda Sulawesi Selatan tersebut,
kita dapat simpulkan sementara bahwa ada persoalan dalam proses pembangunan
yang dilakukan selama ini. Sebab, bila dicermati jenis bencana yang terjadi
serta banyaknya daerah dan titik wilayah terdampak, yang belum pernah mengalami
bencana sebesar saat ini, maka bisa diduga faktor penyebabnya tidak semata
karena cuaca buruk. Alih fungsi lahan dan hutan, penambangan tak terkendali dan
penyempitan aliran sungai adalah sebagian di antara penyebab terjadinya banjir
besar tersebut.
Berbicara
bencana, perlu dilihat dalam dua kategori. Pertama,
bencana yang tidak mampu dicegah.
Contohnya, gempa bumi, tsunami, liquifaksi, gunung berapi, angin puting
beliung. Kedua, bencana yang dapat
dicegah. Umumnya jenis bencana ini, diakibatkan oleh perlakuan manusia terhadap
alam, seperti banjir, longsor, banjir bandang, kebakaran hutan. Nah, bencana
yang melanda Sulsel beberapa waktu lalu, sebagian besarnya disebabkan bencana
kategori kedua. Lalu, apa yang perlu dilakukan dalam hal mitigasinya?
Optimalisasi Mitigasi
Mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Bila untuk bencana jenis pertama, yang mungkin
dilakukan dalam mitigasinya, hanya
sebatas mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Maka untuk
bencana kategori kedua, proses mitigasi bisa dilakukan dengan cara mencegah
atau menghentikan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekologi dan
kerusakan/degradasi lingkungan.
Problem
utama dan mendasar yang dihadapi dalam kaitan ini, bahwa sistem perencanaan
kita belum berbasis kebencanaan. Baik pada sistem perencanaan pembangunan (Development Planning) maupun sistem
perencanaan tata ruang (Spatial Planning).
Dengan kata lain, pada kebanyakan dokumen rencana jangka panjang, rencana
jangka menengah serta juga rencana tata ruang, aspek kebencanaan tidak menjadi
perhatian serius, yang butuh dijelaskan dengan uraian terperinci. Jika pun
sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut, maka tahap
implementasinya yang menjadi soal.
Sebagai
ilustrasi, kajian cepat yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Ruang –
Kementerian ATR, menunjukkan hal ini. Dalam Perda 16/2011 RTRW Kota Palu
2010-2030, tidak dijelaskan secara khusus Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa.
Yang ada kawasan rawan gelombang pasang/tsunami. Anehnya, pada kondisi faktual
yang ditemukan, wilayah/kelurahan yang disebut sebagai KRB gelombang
pasang/tsunami, justru telah berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa
yang padat dengan aktivitas. Akibat kurangnya perhatian dalam perencanaan tata
ruang/spasial terhadap aspek kebencanaan, menyebabkan dampak yang ditimbulkan
begitu besar.
Karenanya,
apapun langkah yang akan diambil dalam mengatasi banjir, selama normalisasi
pada daerah hulu terhadap pelanggaran tata ruang dan kerusakan lingkungan,
tidak dibereskan, maka hasilnya akan sia-sia. Karenanya, beberapa hal berikut
perlu dicermati semua pihak, sebagai antisipasi terjadinya bencana di kemudian
hari, di antaranya: komitmen untuk selalu taat pada rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang yang eksploitatif, khususnya pada area pertambangan harus
dihentikan, serta pengendalian pemanfaatan ruang mesti konsisten ditegakkan.
Kesemuanya itu akan menjadikan daya tampung dan daya dukung lingkungan akan
tetap terjaga.
Dalam
refleksi yang lain, Muhammad Nur Jabir-Direktur Rumi Institute, mendakukan bahwa kali ini hujan benar-benar
mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti.
Dan selalu bertanya, “Sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut
nyawa?” Apakah kita masih belum bisa belajar, dari setiap musim penghujan yang
akan menjebak kita dalam kecemasan! Bila menengok tragedi bencana yang baru
saja terjadi, sekali lagi menjadi peringatan keras buat kita, bahwa penataan
ruang tidak boleh diabaikan. Lantas, mungkinkah mitigasi bencana dioptimalkan? Sangat
tergantung pada manusianya. Apakah ia mau menjadikan tata ruang sebagai
instrumen penting dalam upaya memitigasi bencana ataukah tidak. Wallahu a’lam bisshawab.
* Pengurus
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar
Research for Advance Transformation).