Oleh: Andi Idham Asman
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Keilmuan "Panrita (Planning Research and Literation) Studio"
Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan panjang pesisir mencapai 108.000 km2
(BIG, 2018), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai
terpanjang kedua setelah Kanada (menginspirasi.com, 2018). Kondisi ini
menyebabkan sebagian besar wilayah perkotaan Indonesia berada di daerah pesisir
yang diikuti dengan aktivitas masyarakat yang juga lebih banyak di daerah
pesisir, bahkan menurut data dari bank dunia lebih dari 65 % masyarakat
Indonesia tinggal didaerah pesisir. Jumlah penduduk yang berkembang pesat di
kawasan perkotaan akibat urbanisasi mengakibatkan permintaan ruang semakin
meningkat. Salah satu upaya yang cukup banyak dilakukan pemerintah Indonesia
saat ini dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang tersebut adalah reklamasi
pantai.
Menurut
undang-undang no 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam
rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan
dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. UU
no 1 tahun 2014 tersebut merupakan perubahan dari UU No 27 tahun 2007. Definisi
reklamasi yang semula dijelaskan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh “orang” berubah
menjadi “setiap orang”. Perubahan tersebut dilakukan untuk mempertegas bahwa
kegiatan tersebut bukan hanya ditujukan untuk orang tertentu tetapi dapat
dilakukan oleh siapapun. Kegiatan pembangunan reklamasi dikawasan pesisir hampir
sebagian besar dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan ruang akibat pertumbuhan
penduduk yang pesat. Beberapa contoh Negara yang melakukan reklamasi
diantaranya adalah Singapura, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Belanda.
Singapura misalnya, Pertambahan penduduk yang cukup tinggi menuntut
disiapkannya lahan bagi kebutuhan perumahan, industri dan fasilitas perkotaan
sehingga pada tahun 1970-an mulai dilakukan reklamasi (Syamsidik, 2003).
Di
Indonesia sendiri, pembangunan reklamasi di kota-kota pesisir telah banyak
dilakukan seperti, Jakarta, Manado, Bali, Makassar, Semarang, dan Palu. Sama
halnya dengan pembangunan reklamasi di kota-kota dunia, reklamasi di Indonesia
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan kegiatan perekonomian. Selain
peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, dalam rencana tata
ruang ataupun master plan
perencanaan, menjadikan reklamasi sebagai bagian dari strategi adaptasi
terhadap ancaman bencana seperti sea
level rise, banjir rob, dan bencana pesisir lainnya yang disebabkan oleh perubahan
iklim. Dengan tujuan dan fungsi pembangunan reklamasi yang disebutkan di atas,
apa yang membuat masih banyak kontra atau penolakan terhadap pembangunan
reklamasi? Hal ini tentu menarik untuk didiskusikan.
Artikel
ini berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan judgement dari sisi yang lebih global, sehingga masih banyak
paradigma yang lebih teknis untuk didiskusikan lebih lanjut. Oleh karena itu,
dalam artikel ini reklamasi akan dibahas sebagai bentuk adaptasi ataupun
maladaptasi terhadap perubahan iklim.
Berbicara
mengenai adaptasi dan maladaptasi, tentunya tak terlepas dari pembahasan
perubahan iklim itu sendiri. Perubahan iklim merupakan pemicu utama potensi
terjadinya bencana yang disebutkan sebelumnya menjadi ancaman yang kemudian
melahirkan perencanaan untuk meminimalisir dan atau bahkan menghilangkan dampak
terhadap bencana pesisir.
Perubahan
iklim didefinisikan dalam RAN API sebagai perubahan signifikan pada iklim yang
berlangsung selama minimal 30 tahun atau lebih lama. Sedangkan menurut
Trenberth dkk, mengatakan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang
dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah
komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode
yang cukup panjang. Proses perubahan iklim yang meningkatkan ancaman terhadap
bencana terutama di kawasan pesisir mendorong perlunya upaya adaptasi terhadap
perubahan iklim.
Adaptasi
dalam dokumen RAN API adalah penyesuaian dalam sistem alam atau sistem buatan
manusia untuk menjawab rangsangan atau pengaruh iklim, baik yang bersifat
aktual ataupun perkiraan, dengan tujuan mengontrol bahaya yang ditimbulkan atau
memberikan kesempatan yang menguntungkan. Adaptasi dapat juga didefinisikan
sebagai usaha alam atau manusia menyesuaikan diri untuk mengurangi dampak perubahan
iklim yang sudah atau mungkin terjadi.
Maka,
perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan
program-program pembangunan. Pembangunan reklamasi seperti yang disebutkan
sebelumnya merupakan bagian dari adaptasi terhadap ancaman bencana pesisir.
Reklamasi yang kemudian difungsikan sebagai sea
wall tentu akan dapat mencegah air laut masuk kedaratan akibat bencana
seperti sea level rises dan banjir
rob. Namun, beberapa fakta belakangan ini terjadi bahwa sering kali upaya yang
dilakukan untuk adaptasi malah berdampak buruk atau justru meningkatkan
kerentanan yang sering disebut dengan maladaptasi.
Ada
beberapa pendapat tentang maladaptasi, seperti yang dikemukakan oleh Scheraga
and Grambsch (1998) menggambarkan bahwa maladaptasi sebagai situasi di mana
dampak negatif yang disebabkan oleh keputusan adaptasi sama seriusnya dengan
dampak iklim yang dihindari. IPCC ketiga juga mendeskripsikan maladaptasi yaitu
sebagai sebuah adaptasi yang tidak berhasil mengurangi kerentanan tetapi malah
meningkatkannya. Kemudian Jon Barnet dan Saffron O’Neil (2009) mensintesis dan
memperluas wawasan dari definisi-deinisi sebelumnya dan mendefinisikan
maladaptasi sebagai tindakan yang diambil seolah-olah untuk menghindari atau
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim yang berdampak buruk, atau
meningkatkan kerentanan sistem, sektor atau kelompok sosial lain. Berdasarkan
pemaparan diatas, kini muncul pertanyaan sederhana:
Apakah reklamasi di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah
bentuk maladaptasi?
Ada
beberapa tipe yang kemudian dapat digunakan sebagai kriteria atau mengevaluasi
terkait maladaptasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam artikel ini
melihat dari sisi yang lebih global sehingga pembahasan akan difokuskan pada 2
tipe maladaptasi terkait dengan pembangunan reklamasi di Indonesia. Tentu saja
perlu dikaji lebih dalam terkait tipe-tipe yang bisa jadi sifatnya lebih teknis
ataupun dari paradigm berbeda.
1.
Meningkatkan
Emisi Gas Rumah Kaca
Jenis maladaptasi
ini tentu menjadi hal yang cukup umum, sebagai contoh yang paling sering
disebutkan adalah peningkatan penggunaan AC yang berenergi tinggi sebagai
respons terhadap dampak kesehatan dari gelombang panas (Kovats et al., 2006).
Dalam kasus reklamasi di Indonesia, hal ini kemungkinan dapat terjadi. Dengan
pembangunan reklamasi di Indonesia yang sebagian besar untuk peruntukkan ruang
permukiman dan kegiatan perekonomian, maka akan meningkatkan aktivitas di
kawasan pesisir tersebut. Pembangunan reklamasi yang dimaksudkan sebagai
adaptasi terhadap perubahan iklim dengan meminimalisir dampak dari ancaman
bencana pesisir seperti sea level rises dan
banjir rob kemungkinan membutuhkan adaptasi lebih lanjut di masa depan karena
justru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan aktivitas
manusia secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan akan energi yang akan ikut
meningkatkan produksi emisi gas rumah kaca. Peningkatan konsumsi energi seperti
listrik, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya yang dimaksudkan untuk
mendukung aktivitas manusia seperti yang dijelaskan Trenberth sebelumnya dapat
memicu perubahan komposisi atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim. Harley
(2006) juga pernah menggambarkan bagaimana aktivitas manusia di pesisir menjadi
elemen paling berpengaruh terhadap perubahan iklim dengan mengatakan “aktivitas
manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil (penggunaan energi berlebih) dan
penggundulan hutan mengarah ke konsentrasi gas rumah kaca yang lebih tinggi di
atmosfer, yang pada gilirannya menyebabkan serangkaian perubahan fisik dan
kimia di lautan pesisir” yang juga dituangkan seperti pada gambar sistem perubahan iklim di bawah ini :
2.
Secara
tidak proporsional membebani yang lebih rentan
Tindakan adaptasi
dikatakan maladaptasi jika, dalam memenuhi kebutuhan satu sektor atau kelompok,
mereka meningkatkan kerentanan mereka yang paling berisiko, seperti kelompok
minoritas atau rumah tangga berpendapatan rendah. Beberapa kasus reklamasi di
Indonesia dapat menjadi contoh terkait hal tersebut, pembangunan reklamasi
dengan peruntukan perekonomian dan permukiman hanya dapat diakses masyarakat
dengan ekonomi menengah keatas akibat nilai lahan yang sangat tinggi. Kawasan
pesisir yang sebelumnya dihuni oleh masyarakat dengan mata pecaharian utama
nelayan, dengan pembangunan reklamasi akses untuk melaut tertutup ataupun ketika
harus melaut jarak yang di tempuh harus lebih jauh yang menyebabkan biaya yang
dibutuhkan lebih besar. Hal ini menyebabkan beberapa nelayan harus mencari
sumber mata pencaharian baru dan perubahan fisik yang juga memunculkan
kantong-kantong kumuh.
Berdasarkan
penjabaran diatas, dalam artikel ini kemudian tidak memberikan judgement apakah reklamasi di Indonesia
merupakan bentuk adaptasi atau maladaptasi. Hal ini dikarenakan kita perlu
melihat ke paradigma yang lebih luas lagi baik terkait teknis maupun sistem
yang terbentuk di dalamnya. Pembangunan reklamasi bisa saja menjadi bentuk
adaptasi terhadap bencana pesisir akibat perubahan iklim pada masa sekarang
dengan pembangunan reklamasi sebagai tanggul laut yang mengurangi risiko
terhadap bencana sea level rises ataupun
banjir rob, tetapi juga dapat digolongkan sebagai maladaptasi karena
meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan struktur sosial, sehingga
justru membutuhkan bentuk adaptasi yang lebih besar di masa depan.
Artikel
ini disajikan sebagai bahan diskusi dan acuan dalam pembangunan (terutama
pembangunan reklamasi) sebagai bentuk adaptasi perlu mempertimbangkan berbagai
hal yang sewaktu-waktu justru memunculkan masalah yang lebih kompleks dengan
risiko meningkatnya kerentanan di area pesisir tersebut. Peningkatan asset
perekonomian dan jumlah masyarakat yang bermukim merupakan kerentanan terhadap
potensi bencana di kawasan reklamasi.
Perlunya
adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan
program-program pembangunan. Selain itu, penguatan kapasitas lokal penting
untuk dilakukan, termasuk peningkatan koordinasi pusat-daerah, perencanaan dan
pendanaan. Masyarakat juga perlu lebih memahami isu perubahan iklim, serta
ketahanan keluarga miskin dan kelompok rentan lainnya perlu ditingkatkan. Penelitian-penelitian juga perlu dilakukan
untuk menambah pemahaman akan dampak lokal perubahan iklim.