Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin
Pembangunan adalah
proses yang dinamis. Sebuah proses yang bergulir dari waktu ke waktu, tidak
pernah berhenti. Sebab, pembangunan meniscayakan sebuah perubahan, sementara perubahan
itu sendiri senantiasa terus berlangsung.
Pada buku “Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan
Indonesia”, Budhy Tjahjati S. Soegijoko menyebutkan bahwa: Pembangunan di
Indonesia, dicirikan dengan terjadinya perkembangan penduduk yang pesat,
meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, bergesernya struktur kegiatan ekonomi
yang pada awalnya bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi kegiatan industri
dan munculnya permasalahan yang berkaitan dengan penataan ruang. Permasalahan
ini antara lain meliputi penurunan mutu lingkungan hidup, akibat pemanfaatan
lahan yang melampaui daya dukung lingkungan. Ditambah lagi, dengan tidak adanya
upaya-upaya intervensi melalui pemanfaatan teknologi yang tepat, pembangunan
pada wilayah konservasi, tumpang tindih pemanfaatan lahan, pembangunan di
wilayah baru yang kurang mempertimbangkan kondisi sosial budaya atau kurang
melibatkan masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya struktur enclave di lokasi proyek-proyek
pembangunan.
Sejalan dengan
meningkatnya laju pertumbuhan pada berbagai sektor, dan juga berlangsungnya
transformasi demografi dan sosial ekonomi, maka tampaknya kemampuan pemerintah
di berbagai daerah, dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya juga semakin
meningkat. Dengan begitu, percepatan pembangunan tak bisa lagi dielakkan.
Tetapi, yang harus diingat dan menjadi perhatian semua pihak bahwa pembangunan
bukanlah praktik tanpa pedoman.
Pedoman pembangunan ini
menjadi krusial karena sejak awal kita telah memutuskan untuk ‘melakukan
pembangunan’. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan harus selalu merupakan
penjabaran dari konstitusi serta regulasi yang ada. Perencanaan secara
operasional diturunkan dari premis dan asumsi dasar, sebagai nilai yang
dipergunakan untuk melihat kondisi hari ini dan proyeksi masa depan. Mungkin
berbeda dengan masa lalu, perencanaan pembangunan masa kini berusaha memadukan
antara masukan dari bawah dan dari atas. Pembangunan hari ini, mesti mengacu
pada keperluan, potensi dan kebutuhan dari rakyat sendiri.
Salah satu yang menjadi
perhatian adalah pembangunaan perkotaan.
Mengapa? Karena pada dasarnya wilayah perkotaan dipandang sebagai lokasi
yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif, sehubungan
dengan ketersediaan sarana dan prasarana, tenaga kerja terampil, tersedianya
dana sebagai modal, dan sebagainya. Bila usaha diversifikasi ekonomi kota
semakin dipacu, peranan kota akan semakin meningkat pula dan urbanisasi
merupakan suatu konsekuensi yang perlu dihadapi. Di satu sisi, kota akan
semakin dituntut agar dapat berfungsi secara lebih efisien, namun di lain sisi,
jumlah penduduk yang semakin meningkat serta munculnya
permasalahan-permasalahan perkotaan lainnya yang semakin rumit dan kompleks,
tidak dapat dihindari. Dengan demikian, perkotaan telah menjadi bagian yang
sangat penting dalam pembangunan daerah, sebab kota-kota akan merupakan
titik-titik simpul yang diharapkan mampu menjawab dua hal. Pertama, kota harus mampu menjawab permasalahan
internalnya, untuk pengembangan kehidupan masyarakat kota. Kedua, kota diharuskan pula mampu berfungsi sebagai akselerator
pembangunan wilayah belakangnya/sekitarnya, guna mencapai pertumbuhan dan
keseimbangan pembangunan antar wilayah.
Namun, di tengah upaya
pemerintah melakukan percepatan pembangunan, khususnya di berbagai daerah serta
kota-kota besar, terjadi sebuah paradoks dalam pembangunan. Yakni tidak
terjalinnya sinkronisasi antara proyek pembangunan yang akan dikerjakan dengan
rencana pembangunan yang sudah ada. Sebagai contoh, penerapan UU No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, yang salah satunya berwujud rencana tata ruang,
seringkali terabaikan dan tidak lagi dijadikan acuan, di setiap tingkatannya. Mulai
pada tingkat pusat sampai di daerah-daerah. Akibatnya, muncul berbagai
persoalan dalam pekerjaan proyek pembangunan yang ada. Apa yang terjadi pada
proyek pembangunan jalur kereta cepat Jakarta – Bandung, reklamasi teluk
Jakarta, serta proyek-proyek reklamasi lainnya di berbagai kota dan daerah
adalah merupakan sebagian kecil, fakta dan bukti atas implikasi yang
ditimbulkan dari paradoks pembangunan tersebut.
Karena itulah pada awal
April 2016 lalu, dalam Forum Rakornas, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP),
menyerukan agar pemerintah tidak mengabaikan rencana tata ruang yang ada,
bahkan menjadikannya sebagai matra spasial pembangunan, sehingga tidak ada lagi
kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kebijakan tata ruang yang sudah
ada.
Adalah suatu hal yang
logis, bila penataan ruang dijadikan sebagai piranti pembangunan berkelanjutan.
Sebab, penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian serta
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan memperhatikan
kepentingan generasi mendatang. Maka tak pelak lagi, sebuah rencana tata ruang mesti
disusun dengan perspektif menuju ke keadaan pada masa depan yang diharapkan.
Untuk menghindari
terjadinya paradoks pembangunan di waktu yang akan datang, maka upaya
sinkronisasi, keterpaduan dan keselarasan, dengan cara mengintegrasikan
berbagai kebijakan pembangunan, mutlak harus dilakukan. Sehingga percepatan
pembangunan yang dilakukan tidak lagi menempuh jalan pintas atau menabrak
kebijakan dan regulasi pembangunan yang lain.
Dan bila harmonisasi
dalam upaya percepatan pembangunan tersebut berjalan dengan semestinya, maka
tujuan yang sama dari pembangunan dan penataan ruang bisa terwujud dan
dirasakan bersama, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab.