Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad*
Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor
nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Indonesia dalam waktu terakhir
ini sedang masif dilanda bencana alam tektonik. Beberapa diantaranya yang
menyebabkan korban jiwa adalah Gempabumi di Lombok dengan kekuatan 6,4 skala richter (SR) sehingga menghempas
Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Bali. Dilansir dari BBC, terhitung 31 Juli
2018 lalu, jumlah korban yang dievakuasi di penampungan mencapai lebih dari
5.000 orang di Lombok. Gempa ini juga mengakibatkan 436 orang meninggal, lebih
dari 1.393 orang luka-luka, 22.000 rumah rusak, dan 8 titik desa porak poranda,
di antaranya: Calabai, Karombi, Kadindi Barat, Nangamiro, Kadindi Timur,
Tambora, Pekat, dan Sorinomo.
Usai gempa pertama pada Minggu pagi tersebut, dirasakan lagi
setidaknya 593 gempa susulan. Bahkan saat Minggu malam, jauh lebih dahsyat
karena magnitudonya mencapai 7,0 SR dan berpusat di kedalaman kurang dari 20
kilometer, di area darat pula. Menurut data laporan pemerintah daerah dan
relawan yang dikumpulkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga
Jumat (10/8/2018) siang, tercatat 321 orang meninggal dunia.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga sempat
mengaktifkan peringatan akan terjadinya gelombang tsunami pada gempa
berkekuatan 7,0 SR tersebut. Namun, dalam kurun waktu satu jam peringatan itu
dicabut. Walaupun menurut data dari BMKG, gelombang tsunami sudah sempat
menghantam wilayah pesisir dengan ketinggian 10-13 centimeter. Pasca terjadinya
gempa besar tersebut sekitar pukul 18:46 WITA, Lombok kembali digoyang 47 kali
gempa susulan dengan intensitas gempa yang lebih kecil.
Selanjutnya pada 28 September 2018, Palu juga dilanda
gempabumi dengan kekuatan 7,4 SR dan menimbulkan gelombang tsunami. Dilansir
melalui Kompas 8 Oktober 2018 lalu, data dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa jumlah korban jiwa akibat
gempa dan tsunami mencapai 1.763 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.519
jenazah ditemukan di Palu. Sementara, sebanyak 159 jenazah ditemukan di
Donggala. Di Sigi, ditemukan 69 korban tewas; 15 jenazah di Parigi, dan 1
jenazah ditemukan di Pasangkayu. Adapun jumlah pengungsi, tercatat 62.359 jiwa
di 147 titik.
Tidak
hanya di Lombok maupun Palu, 11 Oktober di Situbondo Jawa Timur juga diguncang
gempabumi dengan kekuatan 6,4 SR. Dilansir dari Tribunnews.com (11/10/2018), data
dari BPBD mencatat bahwa jumlah korban meninggal dunia adalah 3 orang,
jumlah korban yang luka-luka adalah 9 orang, dan sebanyak 25 rumah warga yang
hancur akibat gempa.
Secara
ilmiah, terjadinya gempabumi di Lombok, Palu, dan Situbondo memang merupakan
peristiwa alam yang berupa hasil kerja lempeng tektonik di dalam bumi. Wilayah-wilayah
yang berada dijalur sesar atau patahan aktif, alamiahnya memang akan diguncang
gempa. Jika kekuatan magnitudo gempabumi tersebut berada dikisaran magnitudo 7
SR dan titik sumber gempanya dangkal atau memiliki kedalaman kurang dari 20 km,
maka gempa tersebut termasuk dalam salah satu kriteria gempa yang berpotensi
tsunami.
Lebih lanjut,
tatanan lahan yang terdapat di Lombok, Palu, dan Situbondo terbentuk oleh proses geomorfologi
struktural. Wilayah yang terbentuk dari proses struktural alamiahnya dalam jutaan
tahun lalu merupakan daerah patahan. Pantai pasir putih adalah salah satu
indikasi dari wilayah tersebut merupakan wilayah patahan karena pasir putih
terbentuk dari proses struktural lalu mengalami pengangkatan ke dasar lautan
dan membentuk lahan solusional. Jika disederhanakan, biasanya proses struktural
dan proses solusional itu hampir sering berkolaborasi dalam waktu yang
bersamaan.
Sejauh ini, seringkali banyak korban jiwa berjatuhan ketika dihantam
oleh gempabumi dan tsunami karena secara teknisnya, tata ruang wilayah setempat
belum berbasis dengan kajian mitigasi bencana. Padahal dalam aturannya di
Undang-Undang Nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah memuat himbauan agar tata ruang suatu
wilayah haruslah disertai dengan kajian mitigasi bencana.
Jika
ditelisik lebih jauh lagi, database terkait peta geologi maupun peta
geomorfologi skala detail belum tersedia dan ini masih disepelehkan. Padahal, inilah yang justru lebih
urgent disediakan karena pembuatan rencana tata ruang suatu wilayah yang
resisten terhadap bencana haruslah berbasis pada geomorfologi maupun geologi
wilayah tersebut. Bukan malah hanya menjadikan kajian aspek geologi maupun
aspek geomorfologi sebagai data penunjang.
Valeda, dkk (2016) membuktikan dalam
penelitiannya bahwa keberadaan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTWR) belum
efektif dalam mereduksi bencana. Kemudian Muta’ali (2014) membahas lebih lanjut
bahwa keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah masih dinilai belum efektif dalam mereduksi
bencana karena deliniasi atau penetapan batas kawasan rawan bencananya kurang
memiliki indikator penetapan kawasan rawan bencana yang tepat.
Kebanyakan produk tata ruang dalam melakukan justifikasi
kawasan rawan bencana hanya berdasar kondisi eksisting. Padahal idealnya, kajian
bencana dan upaya pengurangan risikonya itu butuh kajian ilmiah yang mendalam
juga.
Selain itu, alasan lain dari tidak
terselenggaranya produk tata ruang yang berbasis mitigasi bencana karena sejauh
ini produk RTRW seringkali berorientasi pada nilai ekonomi sehingga tidak lagi
melihat kemampuan lahannya terhadap bencana seperti apa.
Pernyataan penulis tersebut
sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Mardiatno (2014) selaku Kepala
Pusat Studi Bencana Alam di Universitas Gadjah Mada pernah beropini dalam
Kompas, 16 Juni 2014. Beliau menyatakan bahwa, “Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila
dalam pelaksanaannya memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko. Masalahnya,
RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Bahkan, sejumlah infrastruktur
baru, misalnya Bandara Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan
tsunami, selain juga banjir”.
Terjadinya tumpang tindih
kebijakan teknis ini terjadi karena orientasi pembangunan hari ini memang masih
dititikberatkan pada orientasi ekonomi. Bahkan bisa dikatakan, demi investasi,
nyawa rakyat hampir sering menjadi taruhannya.
Hasil riset dari Prof Otto Ongkosongo
sebelumnya telah pernah memformulasikan bahwa maksiat dan bencana itu punya
korelasi yang kuat. Berdasar hasil riset tersebut dapat diambil hikmah bahwa
bencana yang terjadi hari ini tidak dicukupkan pada kajian aspek ilmiah saja
tapi juga sangat perlu didudukkan pada sudut pandang ruhiyah. Sebab Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bersabda: “Jika harta rampasan perang dijadikan kas
negara (tidak lagi diberikan kepada orang yang ikut perang), amanah dijadikan
rebutan, jatah zakat dikurangi, selain ilmu agama banyak dipelajari, lelaki
taat kepada wanita dan memperbudak ibunya, orang lebih dekat kepada temannya
dan menjauh dari ayahnya, banyak teriakan di masjid, yang memimpin kabilah
adalah orang yang bejat (fasik), yang memimpin masyarakat orang yang rendah
(agamanya), orang dimuliakan karena ditakuti pengaruh buruknya, para penyanyi
wanita tampil di permukaan, khamr diminum, dan generasi terakhir melaknat
generasi pertama (sahabat), maka bersiaplah ketika itu dengan adanya angin
merah, gempa bumi, manusia ditenggelamkan, manusia diganti wajahnya, dilempari
batu dari atas, dan berbagai tanda kekuasaan Allah (musibah) yang
terus-menerus, seperti ikatan biji tasbih yang putus talinya, maka biji ini
akan lepas satu-persatu.” (HR. Turmudzi).
Berdasarkan hadits tersebut, kita semua harus
banyak-banyak bermuhasabah. Jangan sampai kejadian bencana saat ini adalah
warning dari pemilik alam agar kita menunaikan seluruh hak-hakNya untuk
tertunaikan secara sempurna.
Terkait
penanggulangan bencana, peradaban islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah telah
mencontohkannya. An Nawiy (2018) memaparkan bahwa manajemen bencana model
Khilafah Islamiyah tegak di atas aqidah Islamiyah. Prinsip-prinsip
pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, ditujukan untuk kemashlahatan
rakyat, sehingga kebijakan teknis dilapangan tidak saling tumpang tindih.
Manajemen bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika,
dan sesudah bencana.
Penangangan
pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau
menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan
sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal,
bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman
kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata
kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.
Kegiatan
lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian
masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar
mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan
mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. Untuk
merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus,
khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana
alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan
daerah-daerah rawan lainnya.
Edukasi
meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan
dan perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap
penanganan ketika dan pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli
terhadap lingkungannya dan mengetahui cara untuk mengantisipasi dan menangani
bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak—akibat
bencana—agar kembali berfungsi normal seperti semula.
Selain
itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis
dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan
dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat
telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan
lain-lain–, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di
daerah-daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi
terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk
mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.
Serangkaian
upaya manajemen tersebut telah dicontohkan pada saat terjadinya bencana
paceklik yang menimpa Jazirah Arab dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu anhu. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota
Madinah sebagai pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah untuk meminta bantuan
pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu segera membentuk tim yang terdiri
dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin
al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu.
Setiap
hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka
kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan
dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan
Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang
memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus
meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin
Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan
orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.
Pengungsi-pengungsi
itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka
mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu
anhu. Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu
anhu memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di
kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali
dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung
halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan. Manajemen bencana tersebut
disusun karena dorongan aqidah islam untuk melaksanakan syariah “wajibnya
seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.
Jikalau
pemimpin negeri saat ini juga menggunakan prinsip aqidah islam dalam memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat, tentunya pemimpin hari ini tidak
menyepelehkan kajian kemampuan lahan, penyediaan peta geologi dan peta
geomorfologi dalam skala detail untuk dokumen tata ruang. Ekonomi juga bukan
dijadikan basis orientasi pembangunan. Ridho Allah-lah yang menjadi basis
pembangunan yang dilaksanakan agar dibawah kekuasaannya, rakyat tidak mengami
penderitaan akibat kedzaliman pemimpin dalam melakukan pelayanan kepada
masyarakat.
Bencana
gempabumi, tsunami, ataupun bencana lainnya memang merupakan musibah dan Qadha
Allah. Kita sebagai manusia tidak memiliki ilmu yang bisa memprediksi kapan
terjadinya. Namun, ada area ikhtiar kita sebagai manusia dalam melakukan upaya
pengurangan risiko bencana. Dan sejauh ini, pembangunan-pembangunan atau
dokumen tata ruang yang ada kebanyakan belum berbasis pada kajian risiko
bencana. Olehnya, tanggung jawab pemimpinlah yang seharusnya menghadirkan Ruh
Ilahi dalam menciptakan ruang yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan
bagi masyarakatnya. Sebab pemimpin yang yang memiliki kesadaran aqidah islam
yang mengkrista, alamiahnya pasti akan menerapkan jaring-jaring syariah secara
sempurna dan paripurna. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu,
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)
*Penulis adalah Lulusan Sarjana Teknik
Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan
lulusan Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai
universitas Gadjah Mada