Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*
Sejatinya setiap kota maupun wilayah, sudah menjadikan rencana tata
ruang sebagai panduan serta pedoman dalam melaksanakan pembangunan daerahnya.
Namun, terkadang pemerintah daerah sendiri yang tidak menjalankan aturan dan
regulasi penataan ruang tersebut bahkan seringkali melanggarnya. Tulisan ini
dimaksudkan sebagai langkah sosialisasi dan upaya menegaskan hak-hak rakyat
atau masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UU.
No.26/2007) dan juga sebagian regulasi yang terkait.
Rencana Tata Ruang, Mengapa Disembunyikan?
Prof. Ir. Eko Budihardjo, Msc, mantan Rektor Universitas
Diponegoro Semarang, pernah menyebutkan bahwa perkembangan suatu kota tentu
saja tidak dapat dihambat, karena pada hakikatnya kota merupakan “the
single most complex product of the human mind.” Kota dapat diibaratkan
bagaikan jasad hidup yang akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi dan masalahnya, atau sejalan dengan penanggulangan kendalanya. Mencegah
manusia untuk tidak lagi berbondong-bondong menyerbu kota, merupakan tindakan sia-sia.
Mereka memiliki insting dan tekad yang kuat untuk meningkatkan taraf hidup
mereka masing-masing. Dengan demikian, yang terpenting adalah bagaimana
mengelola kota dengan penataan ruang kota yang lebih adil dan demokratis.
Selama ini, yang jadi persoalan, karena rencana tata ruang yang
ada hampir tidak ada yang pernah dipublikasikan dan disosialisasikan sebelum
dikerjakan. sehingga masyarakat kurang mengerti seperti apa tata ruang itu dan
untuk apa direncanakan. Dokumen rencana tata ruang ibarat dokumen rahasia yang
sulit dibuka. Padahal dalam UU Penataan Ruang, Pasal 60 disebutkan bahwa,
setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang. Demikian juga pada
Pasal 2 huruf e, yang menjelaskan maksud asas ‘keterbukaan’ bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
Karena keterbukaan informasi mengenai tata ruang ini sangat minim
dan hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja, maka berpotensi memunculkan
berbagai persoalan yang akan dihadapi oleh masyarakat. Sebagian dari persoalan
tersebut antara lain; munculnya mafia pertanahan, tanah milik rakyat yang harus
dijual murah dengan dalih untuk kepentingan umum, disebabkan masuk dalam
kawasan perencanaan, dan berbagai potensi masalah yang lain, di mana pada
gilirannya dapat menimbulkan resistensi dari masyarakat.
Meskipun begitu, dalam konteks masalah seperti digambarkan, rakyat
atau masyarakat masih memiliki hak untuk menikmati pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang serta memperoleh penggantian yang layak
atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai
dengan rencana tata ruang. (Pasal 60 huruf b dan c). Bagaimana dengan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayah kita dan
sekaligus juga menimbulkan kerugian? Rakyat atau masyarakat, dapat mengajukan
keberatan terhadap pembangunan tersebut, dapat mengajukan tuntutan pembatalan
izin dan penghentian pembangunan serta dapat mengajukan gugatan ganti kerugian
kepada pejabat yang berwenang, pemerintah dan/atau pemegang izin. (Pasal 60
huruf d,e dan f).
Tata Ruang Buat Seluruh Masyarakat
Terkait dengan tata ruang kita, dalam kenyataan menunjukkan bahwa
kebanyakan – ada mengatakan lebih dari 80% - rencana kota yang telah disusun,
ternyata tidak dapat terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Adanya
kesenjangan yang lebar antara idealisme, harapan dan teori dengan pragmatisme,
kenyataan, praktek dan implementasinya, merupakan masalah utama dalam tata
ruang kota. Penyebab pokok dari masalah tersebut antara lain adalah kurangnya
peran serta aktif dari masyarakat luas dalam proses pembangunan kota. Nah,
keterlibatan secara aktif dari masyarakat tidak mungkin terjadi manakala mereka
kurang mengerti seperti apa posisi yang harus dilakukannya terkait dengan
pembangunan dan penataan ruang kota.
Padahal, pada Pasal 65 ayat 2, dengan jelas menyebutkan peran
serta masyarakat pada seluruh tahapan penyelenggaraan penataan ruang. Pelibatan
tersebut dilakukan mulai dari penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang,
maupun pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang. Didukung lagi dengan aturan
yang lebih rinci melalui PP. No.68 tahun 2010 mengenai Bentuk dan Tata Cara
Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta Permendagri No. 56 tahun 2014
tentang Tata Cara Peran Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah.
Pada penyusunan tata ruang kota – dalam ungkapan Eko Budihardjo –
sering terlupakan bahwa antara warga/masyarakat dengan kotanya adalah ibarat
siput dengan cangkangnya. Istilah City dan Citizen menunjukkan
betapa erat keterkaitan antara keduanya. Namun, karena tata ruang kota
seringkali dibuat secara deterministik, maka tak pelak lagi melahirkan rencana
yang serba seragam. Keragaman manusia menjadi terabaikan. Para pengelola dan
penyelenggara pembangunan kota, cenderung lebih mendambakan terciptanya kota
yang indah dengan memanfaatkan teknologi tinggi dan perangkat keras yang
kontemporer. Padahal sesungguhnya mereka harus lebih mementingkan terciptanya
kota yang manusiawi, dengan ada sentuhan rasa yang penuh kepekaan.
Demikianlah sekelumit dari regulasi yang berkaitan dengan penataan
ruang, yang bisa penulis bagikan, agar supaya masyarakat secara luas dapat
mengerti kedudukannya. Tujuan-tujuan ideal yang terkandung dalam UU No. 26
tahun 2007, sepertinya masih sulit dicapai, di samping juga kualitas pekerjaan
penyusunan tata ruang seringkali masih jauh dari harapan-harapan sebagaimana
yang diinginkan. Tetapi pada akhirnya, pemerintah yang diberikan tugas dan
wewenang sebagai penyelenggara penataan ruang, perlu memastikan bahwa pekerjaan
tersebut betul-betul diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal
7 ayat 1), bukan untuk kepentingan penguasa dan pengusaha semata, bukan pula
untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Sebab, asas ‘perlindungan
kepentingan umum’ (Pasal 2 huruf g), menegaskan bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Wallahu
a’lam bisshawab.
* Pengurus Ikatan
Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan, Peneliti pada Ma’REFAT
INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation) Sulawesi
Selatan serta Lembaga Inisiasi Lingkungan & Masyarakat (LINGKAR).