Farid Nurrahman S.T., MSc.
Ig : @faridnurrahman
Lecturer of Urban and
Regional Planning
Kalimantan Institute of
Technology
Keresahan warga Samarinda atas bencana banjir yang terjadi beberapa hari terakhir cukup menjadi perhatian berbagai media. Munculnya titik-titik banjir baru semakin membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa masalah banjir selalu menghantui.
Berkaca dari indikasi program Pemkot Samarinda 2016–2021, prioritas optimalisasi pengendalian banjir berada di urutan nomor 1. Pada proses penjabarannya, target lima tahun kerja pemerintah kota adalah untuk terlaksananya pengendalian banjir dan relokasi tepi Sungai Karang Mumus (SKM).
Pertanyaannya adalah apa benar relokasi kawasan kumuh tepi SKM dapat mengurangi titik banjir secara signifikan. Faktanya belum ada pembuktian lanjut yang secara nyata menyebutkan perencanaan tersebut akan berdampak positif.
Belum selesai tugas pertama, kini muncul titik-titik baru yang bahkan belum pernah terkena bencana banjir sebelumnya. Jika kita melihat dari sejarah kota, tercatat adanya indikasi banjir 10 tahunan, dimulai 1998, dilanjutkan 2008 dan kini memasuki era 2018.
Persoalan penyebabnya pun berbeda. Mulai aliran tampungan drainase, kurangnya daerah resapan, hingga eksploitasi lingkungan secara besar-besaran. Tercatat pada prioritas program pengendalian banjir Samarinda, ditarget berkurangnya 40 titik lokasi banjir selama lima tahun. Dengan munculnya titik baru, artinya harus ada kajian ulang terhadap perencanaan tersebut.
Keresahan warga Samarinda atas bencana banjir yang terjadi beberapa hari terakhir cukup menjadi perhatian berbagai media. Munculnya titik-titik banjir baru semakin membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa masalah banjir selalu menghantui.
Berkaca dari indikasi program Pemkot Samarinda 2016–2021, prioritas optimalisasi pengendalian banjir berada di urutan nomor 1. Pada proses penjabarannya, target lima tahun kerja pemerintah kota adalah untuk terlaksananya pengendalian banjir dan relokasi tepi Sungai Karang Mumus (SKM).
Pertanyaannya adalah apa benar relokasi kawasan kumuh tepi SKM dapat mengurangi titik banjir secara signifikan. Faktanya belum ada pembuktian lanjut yang secara nyata menyebutkan perencanaan tersebut akan berdampak positif.
Belum selesai tugas pertama, kini muncul titik-titik baru yang bahkan belum pernah terkena bencana banjir sebelumnya. Jika kita melihat dari sejarah kota, tercatat adanya indikasi banjir 10 tahunan, dimulai 1998, dilanjutkan 2008 dan kini memasuki era 2018.
Persoalan penyebabnya pun berbeda. Mulai aliran tampungan drainase, kurangnya daerah resapan, hingga eksploitasi lingkungan secara besar-besaran. Tercatat pada prioritas program pengendalian banjir Samarinda, ditarget berkurangnya 40 titik lokasi banjir selama lima tahun. Dengan munculnya titik baru, artinya harus ada kajian ulang terhadap perencanaan tersebut.
Pada dasarnya, terdapat tiga siklus penanganan banjir yaitu pencegahan (prevention), penanganan (intervention), dan pemulihan (recovery). Sehingga program prioritas pengendalian banjir yang bersifat berkelanjutan harus mencakup poin pokok tersebut.
Tiga poin penting dalam program prioritas pengendalian banjir yaitu relokasi enam segmen kawasan kumuh SKM, berkurangnya 40 titik lokasi banjir, dan pengamanan jalur hijau bantaran sungai.
Berkaca pada program tersebut, dapat diambil hipotesis, bahwa penanggulangan banjir Samarinda masih berada pada tataran preventif/pencegahan, dan belum memasukan unsur penanganan dan pemulihan.
Pada tahapan penanganan, program yang bisa dijalankan untuk permasalahan ini adalah membuat sistem informasi peringatan dini tentang prakiraan bencana serta titik-titik baru yang akan menjadi lokasi banjir berikutnya.
Jadi, masyarakat terdampak bisa bersiap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk. Program lainnya yang bisa dikerjakan pemerintah bersama masyarakat yaitu reaksi cepat dan bantuan penanganan darurat seperti penyiapan pompa yang dapat disebarkan ke titik-titik yang memerlukan penanganan ekstra.
Tahap terakhir yaitu pemulihan. Di mana program-program yang dijalankan berkaitan dengan kegiatan sosial seperti memberikan keperluan hidup sehari-hari disertai perbaikan sarana dasar, pembersihan kawasan, rekonstruksi setelah banjir, rehabilitasi, dan pemulihan kondisi fisik/nonfisik.
Dapat dilanjutkan dengan penilaian kerusakan/kerugian setelah banjir. Kemudian melakukan kajian kembali terhadap penyebab terjadinya banjir yang akan dijadikan dasar dan patokan dalam proses perencanaan selanjutnya.
Berkaca pada pengalaman menghadapi banjir selama lebih 20 tahun, masyarakat Samarinda sudah bisa dikatakan memiliki mental baja. Yakni, tahan terhadap bencana, memiliki toleransi tinggi, tidak terlalu banyak protes, dan selalu menerima keadaan pemerintahannya. Harapannya, itu bukan berarti selalu menjadi korban karena ketidaktepatan perencanaan.
Republish : kaltimprokal.com (24/03.18)