Penulis : Ilham Azhari
Said, S.PWK, Ketua Mahasiswa Pembangunan Indonesia Sulawesi Selatan
Beberapa hari terakhir,
daerah Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar terus menerus diguyur hujan.
Akibatnya, beberapa ruas jalan serta beberapa titik-titik permukiman warga
terendam banjir. Intensitas hujan yang tergolong cukup tinggi tentunya tak bisa
dihindarkan sekaligus tak bisa dikesampingkan sebagai penyebab terjadinya
banjir. Ya, setidaknya itulah yang menjadi pandangan umum di kalangan masyakat,
bahwa banjir disebabkan karena hujan. Lalu pertanyaannya, sudahkah tepat jika
persoalan banjir tidak lain dan tidak bukan hanyalah persoalan intensitas
hujan? Tentunya, jika kita coba untuk mendalami, persoalan banjir bukan hanya
sekedar intensitas hujannya, akan tetapi lebih kepada bagaimana kita mengelola
air hujan dengan baik dan benar.
Banjir tentunya sangat
meresahkan. Banjir tidak melihat kalangan. Banjir juga bisa merugikan siapa
saja. Betapa tidak, begitu banyak aktifitas warga yang terhambat akibat
terjadinya banjir. Semua pikiran dan konsentrasi seperti hanya terfokus kepada
bagaimana mengatasi serta menghindari banjir. Alhasil, begitu banyak orang yang
seolah mengutuk banjir, sekaligus mengutuk pihak-pihak tertentu akibat banjir
yang dari tahun ke tahun terus terjadi bahkan terkesan semakin menjadi-jadi.
Tentunya, ini menjadi catatan penting bagi kita semua, khususnya bagi para
pemangku kebijakan. Perlu kita sadari serta mengakui, bahwa Kota Makassar hari
ini tengah mengalami ketidakmampuan untuk mengimbangi intensitas hujan yang
tergolong cukup tinggi.
Maka dari hal tersebut,
ketidakmampuan kota itulah yang perlu dibenahi. Hal tersebut tentunya dapat
dimulai dari perbaikan sistem drainase yang ada (jangka pendek). Secara
keseluruhan, kita memang memiliki sistem drainase yang tergolong buruk. Mulai
dari volume drainase yang tidak proporsional, sampai kepada saluran drainase
yang terkesan semrawut. Tidak proporsionalnya volume drainase dapat kita tinjau
dari aspek klimatologi (intensitas curah hujan sebagai negara tropis). Jika
kita telah mengetahui bahwa kita hidup di wilayah dengan musim penghujan, maka
sudah seharusnya kita membuat drainase yang siap menampung air hujan. Bukan
justru membuat drainase dengan volume seadanya. Belum lagi bahwa drainase tidak
hanya berfungsi untuk menagkap air hujan secara langsung, tetapi juga berfungsi
untuk menangkap air hujan yang mengalir dari jalan. Olehnya itu, volume
drainase tentunya juga harus mempertimbangkan aspek lebar jalan.
Masih soal drainase, bahwa
drainase yang terbilang buruk juga dapat dilihat dari saluran drainase kita
yang begitu semrawut. Bahkan hal tersebut semakin diperparah akibat masih
disatukannya antara saluran limbah dan saluran drainase. Penyebabnya tidak lain
dan tidak bukan karena kita memang masih minim pada persoalan infrastruktur.
Kembali ke persoalan saluran drainase, begitu banyak drainase lingkungan di
lorong-lorong yang tidak mengalir dengan baik ke drainase utama, bahkan bisa
dikatakan terputus alirannya ke drainase utama. Tidak hanya dari drainase
lingkungan ke drainase utama, bahkan aliran dari drainase utama ke muara terakhir
seperti ke sungai dan/atau ke laut juga ikut terhambat (bisa jadi karena adanya
kegiatan reklamasi dsb). Padahal secara mendasar, drainase dibuat untuk
mengalirkan air secara cepat. Sebab jika tidak, maka debit air akan semakin
meningkat. Dengan demikian, sudah barang pasti ketika hujan turun dengan
intensitas tinggi, maka akan terjadi overload yang secara otomatis akan
mengakibatkan genangan bahkan banjir sekalipun.
Selain perbaikan sistem
drainase, Kota Makassar juga perlu solusi jangka panjang dalam hal mitigasi
bencana banjir. Konsistensi terhadap penataan ruang yang berkelanjutan adalah
jalannya. Kota Makassar begitu kekurangan daerah resapan air, seperti Ruang
Terbuka Hijau (RTH) dsb. Pada akhir tahun 2016 yang lalu, DPRD Kota Makassar
mengklaim bahwa RTH di Kota Makassar baru mencapai sekitar 9% saja. Hal ini
tentunya sangat jauh dari apa yang disyaratkan oleh Undang-undang Penataan
Ruang, yakni sebanyak 30% dari total luas wilayah. Kota Makassar sudah harus
membudayakan hidup vertikal, sehingga keberadaan lahan yang statis dapat
digunakan secara efektif dan seefisien mungkin, guna meminimalisir pemanfaatan
lahan terbangun sehingga peluang untuk terciptanya RTH lebih besar.
Nah, berdasarkan beberapa
uraian di atas, maka kurang tepat jika dikatakan bahwa banjir yang terjadi di
Kota Makassar itu akibat adanya air kiriman dari daerah tetangga, seperti
Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dsb. Ini tidak lebih dari sekedar permasalahan
di Kota Makassar itu sendiri. Terlebih jika kita tinjau dari karakteristik
wilayah di Kota Makassar, Makassar mempunyai karakteristik yang cenderung sama
dengan karakteristik di wilayah Kabupaten Gowa dan juga Kabupaten Maros.
Tingkat topografi Kota Makassar, Kabupaten Gowa serta Kabupaten Maros berada
pada kisaran 0-30 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Sehingga untuk menjadi
daerah tangkapan air (daerah cekungan) bagi wilayah-wilayah di sekitarnya,
Makassar masih sangat jauh. Sebab Makassar, Gowa dan juga Maros memiliki
tipologi wilayah yang masih cenderung sama.
Republish dari
suaracelebes.com (22/12/17)