Masih
terasa hangat bagi masyarakat Kota Makassar, euforia dari gemerlapnya
pelaksanaan kegiatan F8 yang telah menyihir jutaan penduduk Kota Makassar,
melalui gerak indah tradisi berbagai kebudayaan Bugis-Makassar. Dimulai dari
lezatnya jajanan kuliner khas Kota Daeng yang disuguhkan, hingga berbagai seni
pertunjukan yang memanjakan mata, telinga, dan perasaan kita. Kegiatan ini juga
tidak hanya menghadirkan pertunjukan budaya dari daerah saja, tapi bahkan
cahaya gemerlapnya diterangi dengan penampilan seniman dari berbagai
penjuru dunia, yang membuat kita seharianpun tak merasa jenuh bahkan sampai
lupa waktu dibuatnya. Beranjak dari sinilah, sang dirigen Kota Makassar, dalam
hal ini Walikota Makassar, membuktikan kepada masyarakat luas, bahwa Kota Makassar
akan menjadi Kota Dunia, seperti yang beliau idam-idamkan hingga hari ini.
Terlepas dari itu, secara
terminologi, Kota Dunia sama sekali tidak memiliki indikator yang jelas secara
bentuk. Bahkan, dalam sebuah kesempatan diskusi mengenai Kota Dunia, sang
dirigen mengatakan hal yang sama, ditambahnya bahwa sebuah bentuk pengakuan
dunia terhadap Kota Makassar, sudah cukup membuktikan bahwa Kota Makassar telah
menjadi Kota Dunia, ungkapnya. Oleh karena itu, bila ditanya tentang kemana
atau akan kemana Makassar Menuju Kota Dunia, dalam sebuah kesempatan diskusi
“Quo Vadis Makassar Menuju Kota Dunia”, saya menjawab hal yang serupa.
Akan tetapi, bilamana mencari
potret Kota Dunia, seperti apa dan bagaimana ia, tentu kita bisa saja
berspekulasi dalam hal tersebut. Kita bisa memulainya dari pengertian kota itu
sendiri. yang dalam kamus tata ruang dijelaskan bahwa ia merupakan daerah
pemusatan penduduk (heterogen) dengan kepadatan tinggi ditunjang dengan
infrasturuktur yang lengkap dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar
pertanian. Sedangkan kata dunia adalah sebuah nama umum yang digunakan untuk
menyebut keseluruhan peradaban manusia, pengalaman manusia, sejarah atau
kondisi manusia secara umum di seluruh Bumi. Oleh karenanya, menarik benang
merah dari kedua pengertian tersebut. Maka kota dunia ternyata adalah suatu
daerah yang harus dapat mengakomodir keanekaragman karakter manusia
didalamnya, serta dari sana kemudian menciptakan suatu peradaban yang
bermanfaat bagi pengalaman mansuia, menjaga serta tidak lupa meninggalkan
sejarah yang dapat menjadi pembelajaran bagi segenap umat manusia.
Kota Dunia, Kota Kebersamaan
Dalam frame yang lebih dekat,
kota sejatinya telah berkamuflase menjadi sebuah mini dunia, yang didalamnya
terdapat beranekaragam suku, dan karakter manusia. Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) dalam sebuah forum dunia mengeluarkan hasil penelitian mereka yang menyebutkan
bahwa saat ini sebesar 54 persen penduduk dunia tinggal di kota-kota, dan pada
tahun 2050, angka tersebut akan meningkat menjadi 66 persen. Ini berarti,
semakin hari, dunia telah mengkota seiring dengan semakin besarnya laju
urbanisasi di Kota-Kota besar, yang pada akhirnya membentuk big prular pada
tataran masyarakat. Dengan begitu, menciptakan ruang yang berkeadilan untuk
semua adalah tantangan pemerintah hari ini dan yang akan datang untuk dapat
serta merta merangkul seluruh elemen masyarakat pada berbagai kelas melalui
perencanaan pembagunan yang dapat menyatukan kebersamaan sosial. Seperti
penggunaan transportasi publik pada masyarakat, ruang taman bermain untuk
tumbuh kembang anak (melatih sikap sosial sedari dini), ruang terbuka hijau, ruang
pertunjukan seni dan kebudayaan, serta berbagai peran suprastruktur dalam
menciptakan linkungan perkotaan yang sedemikian rupa.
Kota Dunia, Kesederhanaan yang
Mewah
Era postmodern telah membawa
perubahan besar pada paradigma pembangunan kota, melalui keterbukaan dan
kecepatan informasinya, ia telah merevolusi cara pandang kita terhadap dunia
melalui kacamata global. Sehingga, ruang-ruang yang dalam skala besar seperti
Negara hingga ruang-ruang terkecil yaitu ruang rumah tangga, semuanya telah
terkontaminasi dengan gaya modernisasi. Dampaknya, tergeruslah warna kebudayaan
yang ada pada suatu wilayah, dan jadilah kota-kota di Indonesia secara seragam
memiliki karakteristik bangunan yang sama diikuti dengan gaya hidup yang jauh
dari kata kearifan lokal. Padahal kenyataannya bila melirik bagaimana kota-kota
seperti di Negara Mesir, Spanyol, dan China yang dikenal memiliki kota-kota
dengan predikat kelas dunia, sejatinya hal tersebut bersumber pada bagaimana
kebudayaan mereka melahirkan suatu peradaban yang dikenal dunia. Seperti
landmark pirmadia di mesir, teknik pertanian tradisional di spanyol, hingga
ramuan obat tradisional di china.
Kita bisa belajar dari cerita
menarik pada sebuah tulisan “bahaya sabunisasi di Papua” yang ditulis oleh
Butet Manurung dalam kolom mojok.com. Dari pengalamannya di tanah papua, ia
menceritakan tentang bagaimana dampak modernisasi yang tidak hanya menggerus
praktik kuno pada masyarakat, lebih dari itu ternyata modernisasi juga
telah memiskinkan masyarakat secara tidak langsung. Cerita ini terletak di
salah satu desa di papua yang masyarakatnya sedang mencoba menggunakan sepatu
untuk berjalan dan berburu kedalam hutan, melalui sebuah program “penyepatuan”
yang dilakukan oleh sekelompok donatur. Alhasil, selama empat tahun program
berjalan, masyarakat di desa tersebut kemudian menuntut donatur sepatu, ini
dikarenakan setelah mereka memakai sepatu tersebut selama bertahun-tahun hingga
menjadi rusak, telapak kaki masyarakat tersebut kemudian lama-kelamaan menjadi
lembut, sehingga apabila berjalan di tanah Papua tanpa sepatu, mereka akan
merasa kesakitan. Hal ini sangat berbeda, sebelum mereka mengenal sepatu,
menjadi ketergantungan, dan membutuhkan biaya tambahan untuk membeli sepatu,
yang sebenarnya didalam masyarakat rimba tidak membutuhkan itu, karena telapak
kaki mereka secara alamiah telah menyesuaikan dengan morfologi yang ada didalam
hutan. Dari sini kita melihat, bagaimana kemudian kita terperangkap pada
cara-cara baru yang sebenarnya tidak sesuai dengan "Kita" sebagai
Indonesia.
“Di dunia ini, yang paling dapat
bertahan bukanlah ia yang paling kuat, melainkan ia adalah yang dapat
beradaptasi dengan keadaan yang ada”. Mungkin ini adalah salah satu semboyan
yang dapat menggambarkan bagaimana cerita masyarakat papua yang dipaksa untuk
menggunakan sepatu oleh donatur program “penyepatuan” masyarakat pedalaman,
yang pada akhirnya tidak relevan dengan lingkungan sehari-hari tempat
masyarakat tersebut tinggal. Kegagalan tersebut adalah bentuk dari kekeliruan
dalam menempatkan posisi kita pada lingkungan mana sebenarnya kita sedang
berada.
Sejarah dunia mencatat, runtuhnya
kota-kota besar di dunia, selain karena perebutan kekuasaan, juga dikarenakan
kesalahan menyesuaikan antara tujuan arah pembangunan kota dengan lingkungan
yang sedang mereka hadapi. Seperti pada Kota Angkot War yang pernah menjadi
pusat pra-industri terbesar di dunia antara abad ke-9 sampai 15. Sebagai
kebanggan dan lambang kekuasaan Kekaisaran Khmer, kota ini terkenal dengan
kekayaan yang melimpah, warisan seni dan arsitektur yang mewah, jaringan
saluran air yang canggih, serta waduk yang dioptimalkan untuk menyimpan air
hujan untuk musim kemarau.
Namun, pada abad ke-15, Kota
menakjubkan ini dipenuhi limbah akibat eksploitasi lingkungan berlebih dan
krisis air yang disebabkan oleh fluktuasi iklim. Seperti yang dikatakan ilmuwan
Amry Beth Day kepada Live Science “Angkor dapat menjadi contoh bahwa teknologi
tak selalu cukup untuk mencegah keruntuhan peradaan selama masa-masa yang tak
stabil”.
Angkor memiliki infrastruktur
pengelolaan air yang sangat canggih, tetapi keberadaan teknologi ini tak cukup
mencegah keruntuhan peradaban dalam menghadapi kondisi lingkungan.
Akhir Kata
Apa menariknya, bangunan-bangunan
vertikal flat yang berjejer di kota-kota membentuk hutan beton. Apa Manfaatnya,
penimbunan pantai, jikalau terumbu karang rusak, ikan akan mati, langka,
mahal, dan manusia akan bodoh bahkan tamat, karena tidak dapat membeli ikan.
Dan Apa pula menariknya “Kota Dunia”, kalau Dunia yang dimaksud adalah sesuatu
yang fana, tampak tak berwarna, jauh dari kata substansi, dan bergerak tak
memiliki implikasi.
Kita di manjakan pesta-pesta pora
yang mengeluarkan dana tak sedikit, sementara dilain sisi, ada keluarga yang
kelaparan karena tak memiliki sesuap nasi. Janji kita membuat nyaman untuk
semua, tapi apa yang kita lihat nyaman ternyata sebatas ruang dingin dibalik
bangunan-bangunan yang berdiri megah. Padahal, jikalau kita merenung,
pohon-pohon yang kita tebang dengan mengatasnamaakan pembangunan, sudah lebih
dulu memberikan kesejukan yang tidak hanya ada didalam gedung, jangkauannya
luas, seluas langit dan bumi.
Kota-Kota telah mengotak-ngotakan
tindak tanduk manusia dengan menggunakan iklan "globalisai” (Dunia),
hingga terpedaya dan lupa dengan kelestarian manusia dan alam yang begitu
sederhana, mahal, dan berkelanjutan. Ujungnya, kita tak sadar waktu telah
merubah semuanya menjadi tak berharga, padahal dari kesederhanaan, kita lebih
memiliki banyak waktu, untuk dapat melaksanakan tugas wajib yang diemban oleh
setiap manusia.
Penulis : Febrianto Samin