Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad
Infrastruktur
menurut American Works Assosiation adalah fasilitas-fasilitas
fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk
fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan
limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan similar untuk memfasilitasi
tujuan-tujuan sosial dan ekonomi (Stone, 1974 dalam Kodoatie, 2005). Jika
pengertian infrastruktur ini disubtitusikan ke dalam ilmu perencanaan
dan skematik keruangan, infrastruktur merupakan
struktur ruang yang menjadi subsistem dari sistem tata ruang.
Ruang
menurut Lefebvre (1996) dalam Surya (2015) dapat memainkan beragam peran.
Pertama, ia dapat menjalankan peran salah satu dari begitu banyak kekuatan
produksi. Kedua, ia dapat beragam komoditas yang dikonsumsi atau ia dapat
konsumsi secara produktif. Ketiga, secara politis ia penting dalam
memfasilitasi kontrol sistem. Keempat, ruang memperkuat reproduksi hubungan
produktif dan hak milik. Kelima, ruang bisa berbentuk suprastruktur yang
terlihat netral namun menyembunyikan basis ekonomi yang memunculkannya dan yang
jauh dari netral. Berdasarkan kelima sudut pandang Lefebvre ini tentang ruang,
maka disimpulkan bahwa tata ruang adalah leading sector pembangunan.
Tata
ruang sebagai leading sector pembangunan seharusnya terus
diupayakan menjadi payung utama dalam menentukan justifikasi perencanaan maupun
pemanfaatan struktur dan pola ruang. Hal ini perlu dilakukan agar tercipta
ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (sebagaimana amanat UU 26
Tahun 2007) di negeri ini.
Membahas
infrastruktur dari sudut pandang seorang planner tentu tak dapat berlepas diri
begitu saja dari teori-teori pengembangan wilayah, perubahan struktural, maupun
disparitas regional. Tak hanya itu, skematik pembangunan infrastruktur juga
sangat dipengaruhi oleh sistem politik, sistem ekonomi, terlebih lagi pada
konsistentsi -ideologi- yang diemban oleh sebuah negara.
Pembangunan
infrastruktur di Indonesia saat ini merupakan sasaran prioritas pembangunan Pak
Jokowi dan itu akan berlanjut pada sasaran prioritas 2018. Target dari
prioritas pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan konektivitas antarwilayah,
mendukung pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan dan
ketimpangan (Gambar 1).
Gambar 1. Infografis Pembangunan Infrastruktur
(Sumber: www.kominfo.go.id dalam katadata.co.id,
2017)
Terkait
infrastruktur yang saat ini menjadi prioritas dalam proses realisasinya, Pak
Bernardus sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana pernah memberikan pendapat
beliau dalam bentuk tulisan yang berjudul "Tantangan Tata Ruang dalam
Nawacita" di harian kompas beberapa waktu lalu. Beliau memaparkan bahwa,
"Tata ruang Indonesia dalam prosesnya kerap meninggalkan dimensi
kemanusiaan, karena lebih fokus pada konektivitas –infrastruktur-. Ini yang
saya sebut sebagai dehumanisasi perencanaan, yang apabila -dibiarkan- akan
menghasilkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung
lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion, dan optimasi ruang" Pendapat
beliau ini mengindikasikan bahwa percepatan pembangunan infrastruktur yang
diprioritaskan saat ini memberikan ancaman implikasi negatif pada aspek sosial.
Memang sudah bukan hal yang baru bagi seorang planner dalam
mengindera fenomena pembangunan saat ini yang tak jarang menimbulkan
permasalahan baru berupa dehumanisasi.
Menurut
penulis, dehumanisasi terjadi karena pembangunan infrastruktur akan menjadi
pintu gerbang berlangsungnya konversi lahan secara masif akibat terbentuknya
konektivitas baru yang menimbulkan bangkitan maupun tarikan dalam suatu
kawasan. Ketika konversi lahan semakin masif, maka inilah yang tak jarang
melahirkan kaum marginal akibat kapital yang memenangkan pertarungan lahan.
Ketika lahan berhasil dikuasai lagi oleh para kapital, kesejahteraan sosial
pasti sangat sulit tercapai. Hal tersebut dapat kita lihat dari data rasio gini
Indonesia selama 2 dekade.
Badan
Pusat Statistik menyajikan data bahwa rasio gini Indonesia sejak 2007 hingga
Maret 2017 menujukkan koefisien angka 0,35 sampai 0,39. Kemudian pada tahun
1990-2000 world bank juga menyajikan data rasio gini Indonesia memiliki nilai
koefisien 0,30 sampai 0,39. Semakin nilai koefisien rasio gini itu menuju angka
1, maka itu adalah zona kesenjangan yang perlu diwaspadai sebab nilai koefisien
rasio gini ideal adalah semakin mendekati angka 0. Berdasarkan hal ini, penulis
menilai bahwa prioritas pembangunan infrastruktur bukan menjadi sesuatu yang
urgent dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial secara merata.
Lebih
lanjut, sajian data tren rasio gini ini membuat penulis berpikir bahwa, “selama
2 dekade pembangunan infrastruktur di negeri ini terus berlangsung meskipun
terjadi pergantian presiden. Tapi mengapa data rasio gini ini justru
menunjukkan pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara terus menerus
ternyata belum mampu mengatasi ketimpangan dan bahkan kesenjangan masyarakat
semakin meningkat? Saya mengindera bahwa terjadi sebuah kesalahan sistemik
dalam hal ini. Karena selama 2 dekade itu, Indonesia sudah dipimpin oleh 6
presiden sekaligus dengan berbagai program pembangunan namun pada kenyatannya
belum mampu mewujudkan kesejahteraan sosial secara merata.”
Pemikiran
penulis semakin bertambah liar ketika melihat fakta bahwa potensi sumberdaya
alam negeri ini super melimpah tapi kesenjangan sosial terjadi. Bahkan berdasarkan
hasil analisa Prof. Ing. Fahmi Amhar dalam http://jurnal-ekonomi.org/mencoba-meramu-apbn-syariah/,
dinyatakan bahwa pengelolahan sumber daya alam Indonesia jika dikelolah
secara mandiri akan menghasilkan Rp 999 triliun pertahun.
Belum lagi ditambah pengelolaan sektor lainnya. Artinya, untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial secara merata bagi negeri ini bukanlah sebuah ilusi.
Negeri ini juga tidak perlu cari investor ke negeri luar untuk minta bantuan
dana pembangunan. Karena melanggengkan investasi asing itu juga melanggengkan
penjajahan.
Masih
terkait dengan sumberdaya alam yang melimpah, ada sebagian orang yang menilai
bahwa negeri ini kekurangan sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya alam.
Pendapat inilah yang kemudian dilegalkan untuk meniscayakan perlunya import
bahkan sampai memfasilitasi sumberdaya manusia dari luar untuk mengelola
sumberdaya alam negeri ini.
Namun
bagi penulis, negeri ini tidak kekurangan orang-orang cerdas dalam mengelola
sumberdaya alam. Negeri ini hanya tidak percaya penuh pada kualitas anak bangsa
sendiri. Ini bisa kita lihat dari betapa banyak ilmuwan pribumi yang cerdas
tapi lebih memilih tinggal di negeri luar untuk terus mengembangkan risetnya.
Selain itu, riset-riset ilmiah anak bangsa kerap kali dijadikan sebagai
‘pajangan’. Jangankan riset, produk Rencana Tata Ruang Wilayah saja yang
notebenenya dokumen sakral sebelum melakukan proyek-proyek pembangunan, hampir
sering tidak diindahkan arahannya. Kadangkala, keterbatasan dana seringkali
dijadikan alasan. Padahal hasil analisa yang telah dilakukan oleh Prof. Fahmi
dalam jurnal ekonomi beliau yang berjudul “Mencoba Meramu APBN Syariah”, kita
mampu mandiri. Negeri ini mampu mandiri jika Asing-Aseng tidak mengintervensi
kita.
Melihat
realitas ini semua, penulis semakin yakin bahwa memang sedang terjadi kesalahan
sistemik di negeri ini. Kemudian sebuah pertanyaan sederhana dari penulis pun
muncul, sistem apakah yang selama ini diterapkan oleh negara ini?
Berdasarkan
hasil penelusuran penulis, Indonesia selama ini menerapkan sistem kapitalisme.
Secara umum, orang-orang mengetahui bahwa kapitalisme ini adalah sistem ekonomi
semata. Tapi bagi penulis, sistem kapitalisme bukan sebatas sistem ekonomi.
Lebih dari itu, kapitalisme adalah sebuah ideologi global ganas karena ia
secara asasnya telah rusak dan sifatnya juga merusak manusia yang mengembannya.
Sebelum terlalu jauh memaparkan tentang kapitalisme ini, definisi ideologi
dalam tulisan ini perlu ditegaskan agar pembaca bisa satu arah dengan
pembahasan lanjutan dari penulis.
Menurut
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqies dalam Wijianto (2004), ideologi merupakan sistem
berpikir yang dimulai dari tataran nilai dan prinsip dasar yang kemudian
dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sebuah ideologi itu memiliki ide dasar dan dari ide
dasar itu melahirkan sistem (aturan) sebagai metode untuk
penerapannya.
Selanjutnya,
penulis kembali melanjutkan pembahasan tentang kapitalisme. Ideologi
kapitalisme adalah ideologi yang berasal dari Eropa. Kelahiranya disebabkan
karena adanya penindasan kaum gereja terhadap rakyat, kaum gereja acap kali
menjadikan nama tuhan untuk mengambil semua kebijakanya. Kebijakan tersebut
sering sekali merugikan banyak rakyat, seperti pengambilan pajak terhadap
rakyat mereka gunakan nama tuhan, untuk menentukan ilmu pengetahuan kaum gereja
juga mengatasnamakan tuhan, hal itu terus terjadi sehingga rakyat banyak yang
menderita dan akhirnya kebijakan gereja mendapat perlawanan oleh rakyat yang
menyebabkan kaum gereja dilarang untuk mengatur urusan dunia. Kaum gereja hanya
mengatur urusan gereja saja. Ide inilah yang kemudian melahirkan sebuah ide
dasar bernama sekulerisme yaitu pemisahan antara
kehidupan dan agama. Sekulerisme inilah yang menjadi ide dasar dari ideologi
kapitalisme.
Karena
ide dasarnya adalah sekulerime, maka seluruh perbuatan manusia tidak lagi
diatur oleh tuhan melainkan diatur sebebas-bebasnya oleh manusia sehingga
dikenal pula adanya kebebasan (Freedom). Inilah yang menjadikan metode
ideologi ini untuk berbuat sekehendak manusia. Atas nama kebebasan, tidak perlu
lagi mementingkan apa dan bagaimana manusianya maju dan sejahtera secara
merata. Atas nama kebebasan, negara yang menjadi pengembang ideologi ini juga
tidak merasa bersalah ketika menjajah seluruh negeri-negeri yang ada di dunia.
Itulah kapitalisme yang menjadi ideologi terkuat di zaman sekarang. Ideologi
ini dipimpin oleh Amerika dan negara-negara sekutunya. Dan saat ini negeri kita
dijajah secara psikis oleh kapitalisme.
Terkait
dengan prioritas pembangunan infrastruktur, pada dasarnya saya sangat setuju
akan keberlangsungan proyek ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial secara
merata. Namun titik tekannya, kita harus berdaulat terlebih dulu tanpa
intervensi asing. Maka saat ini yang harus dilakukan adalah fokus pada
memikirkan pergantian –sistem- pengaturan kehidupan dalam bernegara. Karena
masalah utama dan paling urgent yang dialami negeri ini adalah salah memilih
sistem kehidupan bernegara. Salah memilih sistem pengaturan kehidupan bernegara
sangat berimplikasi pada turunan sub sistem pengaturan sektor lainnya.
Lantas,
sistem seperti apakah yang cocok diterapkan di negari ini? Penulis menawarkan
solusi sistem Islam. Tak banyak ilmuwan bahkan masyarakat umum yang mengetahui
bahwa Islam ini merupakan sebuah ideologi global juga. Kebanyakan hanya
menganggap bahwa Islam hanya sebatas agama yang sejajar dengan agama-agama
lainnya. Padahal, lebih dari itu. Islam adalah agama sekaligus ideologi global
yang berasal dari wahyu. Karena Islam ternyata sebuah ideologi, maka tentunya
Islam juga memiliki ide dasar dan sistem aturan sebagai metode penerapannya.
Dalam
konteks ide dasar, Islam mengajarkan asal muasal seluruh alam, manusia dan
kehidupan berasal dari Sang Pencipta. Sederhananya, ide dasar islam adalah
tauhid (meyakini bahwa Allah SWT itu ESA).
Mengenai
solusi atas seluruh problem kehidupan manusia, Islam mendasarkan solusinya pada
keterikatan kepada hukum Sang Pencipta yang terdiri dalam aturan ekonomi,
pemerintahan, politik, sampai pada tataran hukum peradilan. Dalam konteks
ekonomi, Islam mensyari’atkan hukum-hukum mengenai masalah kepemilikan,
pengelolaan, dan distribusi, serta, hukum-hukum yang menyangkut mekanisme
memiliki dan mengembangkan harta. Dalam konteks politik dalam negeri, Islam
telah mewajibkan diberlakukannya seluruh hukum Islam kepada rakyat. Sedangkan
dalam konteks politik luar negri, Islam telah memberlakukan hukum-hukum jihad.
Dalam masalah sangsi hukum, Islam memiliki sangsi yang tegas. Dengan demikian
seluruh problem kehidupan manusia secara umumnya, bisa dipecahkan oleh Islam.
Tak terkecuali dengan yang sedang terjadi di negeri kita saat ini.
Adapun
sudut pandang Islam terkait pembangunan infrastruktur, Islam menempatkan pada
posisi yang tepat. Perlu kita pahami bersama bahwa ruhnya Islam ketika diemban
sebagai sebuah ideologi akan menstimulus pengembannya (khususnya pemimpin)
untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Hal ini didasarkan
pada sebuah hadits Rasulullah Saw berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ » رواه مسلم
Terjemahan:
Hadits riwayat Abu Hurairah رضي الله عنه: ia berkata: Dari Nabi صلی الله عليه وسلم beliau bersabda: “Sesungguhnyalah
seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta
berlindung dengannya. Bila ia memerintah untuk takwa kepada Allah azza wa jalla
serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah
dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya.” (HR.Muslim)
Syarah dari hadits tersebut menurut pendapat Imam An Nawawi
rahimahullah adalah:
Seorang imam (pemimpin) adalah perisai yang digunakan untuk
berlindung. Dikatakan demikian karena seorang imam berfungsi mencegah
(serangan) musuh yang mengganggu, dan menghalangi kedholiman sebagian orang
kepada yang lainnya, menjaga kemuliaan diin dan masyarakat berlindung kepadanya
serta takut akan kekuasaannya.
Jika mensubtitusikan seruan hadits ini ke dalam pembangunan
infrastuktur, kedudukan infrastruktur akan ditempatkan berdasarkan tingkat
kebutuhan masyarakat. Jika infrastuktur itu memang diperlukan untuk
kemaslahatan masyarakat, maka itu akan dipertimbangkan dalam prioritas
pembangunannya. Disinilah juga dibutuhkan peranan sinergi para ilmuwan dalam
mengaktualisasikan segala hasil risetnya dalam mendukung terwujudnya
kesejahteraan sosial secara merata.
Mungkin
ada dari pembaca yang menganggap bahwa pembahasan infrastruktur terlalu jauh
jika dikaitakan dengan ideologi. Namun bagi penulis, secanggih apapun teknologi
yang kita miliki dan secerdas bagaimanapun otak kita dalam merumuskan
pembangunan negeri ini untuk mewujudkan perekonomian sehat dan kesejahteraan
sosial, itu tidak akan terwujud ideal jika sistemnya masih sistem kapitalisme
yang sedari asasnya sudah rusak.
Segala
problematika ruang yang terjadi di negeri kita saat ini disebabkan oleh
kesalahan sistemik. Maka solusi yang ditawarkanpun harus bersifat sistemik
bukan yang bersifat parsial. Dan hanyalah Islam yang mampu menjawab masalah ini
sebab Islam adalah ajaran -wahyu- yang tidak hanya mengatur tentang urusan
ritual saja. Ajaran Islam turun ke muka bumi ini -melengkapi- ajaran sebelumnya
untuk memberikan arahan aturan secara detail tentang zona-zona sosial untuk
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar bisa hidup sesuai fitrahnya bukan
hidup seperti zombie (seperti yang tampak sekarang ini). Jadi bagi penulis, masyarakat
perlu disadarkan secara masif akan bahaya kapitalisme ini dan mengarahkannya
pada solusi Islam karena hanya Islamlah Ideologi yang dijamin 100% kebenarannya.
Semoga
tulisan ini bisa menjadi wadah silah ukhuwah sekaligus pemantik untuk berpikir
bersama dalam merespond huru hara sistemik yang berlarut-larut di negeri ini.
Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih sangat dangkal dan banyak sekali
kekurangannya. Olehnya itu tanggapan, saran, dan kritik sangat penulis
nantikan. Semoga Allah selalu beri kita hidayah dan taufiqNya. Aamiin...
Salam
ukhuwah para planner !