Ruang bumi yang berwujud tanah, air, udara, beserta segala isi
yang ada didalamnya, merupakan suatu sumber energi yang menggerakan aktivitas
kehidupan manusia. Adapun tanah sebagai salah satu sumber tersebut, memiliki
fungsi yang terus bertambah, mengikuti sejarah perkembangan peradaban manusia.
Pada masa awal peradaban, manusia yang hidup nomaden atau
berpindah-pindah, belum membangun suatu kota atau wilayah yang tetap. Hal
ini dikarenakan, manusia pada zaman tersebut jumlahnya masih sedikit dengan
kelompok-kelompok kecilnya yang kesehariannya hanya menikmati kekayaan
sumberdaya alam yang melimpah disekitarnya. Prinsipnya “selama sumberdaya alam
masih memadai guna keberlanjutan hidup kelompok”, maka selama itu pula mereka
akan bertahan untuk tinggal di daerah tersebut. Sehingga tanah/lahan pada waktu
itu hanya difungsikann sebagai suatu tempat untuk membangun permukiman
sementara.
Seiring perkembangan zaman, era peradaban manusia berganti dengan
sistem bercocok tanam, hal ini karena ketersediaan sumberdaya alam yag ada,
telah berbanding lurus dengan jumlah populasi manusia yang semakin banyak hidup
didalam kelompok-kelompok yang terbagi. Sehingga kesempatan untuk berpindah
tempat demi mendapatkan sumberdaya di sisi daerah lain menjadi suatu tanda
tanya besar, apakah sumberdaya yang tersedia disana, belum diklaim oleh
kelompok lain yang sudah lebih dulu menetap di daerah tersebut. Oleh karena
itu, membangun suatu permukiman permanen dengan diikuti pembukaan lahan
pertanian menjadi suatu fungsi baru pada tanah dizaman tersebut, dengan
semata-mata bertujuan demi kelangsungan hidup kelompok masyarakat. Lebih
lanjut, kelompok masyarakat yang telah mengenal status individual terhadap tanah,
merupakan awal mula terciptanya daerah, wialayah, ataupun Negara.
Hingga hari ini, tanah tidak hanya berfungsi sebagai lahan sumber
pangan, ataupun tempat membangun papan. Lebih dari itu, tanah telah mnmiliki
banyak fungsi, seperti pemerintahan, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan
jasa, peribadatan, hingga peristirahatan terakhir manusia.
Tanah di Indonesia
Tanah/lahan menjadi sesuatu yang penting bagi kehidupan
manusia, sehingga daripada itu terjadilah begitu banyak
penjarahan dan penjajahan atas tanah bangsa lain. Bagaimana tidak,
dari tanahlah kemudian bersumber mata air, minyak, tambang, padi,
rempah-rempah, tempat untuk membangun rumah dan lain sebagainya, yang kesemua hal
tersebut merupakan kebutuhan dasar dalam melaksanakan keberlanjutan kehidupan. Apalagi
Indonesia yang dikenal sebagai kolam susu, surga dunia bagi segala sumber daya
alam. Tentu bangsa apa lagi yang tidak tertarik dengan kekayaan Negara ini.
Oleh karena itu, kurang lebih 350 tahun Bangsa Indonesia
berperang melawan penjajah hanya untuk mengambil kembali teritori dari tangan
para kolonial dan imperial bangsa luar. Walau sebenarnya tidak hanya dulu, bahkan hingga
sekarangpun kita tidak pernah lepas dari penjajahan atas tanah/lahan.
Undang-Undang Pokok Agraria No, 5 Tahun 1960 yang masih berlaku hingga hari
ini, mengisyaratkan secara tegas bahwa tanah/lahan di Nusantara, kemudian hanya
dapat dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia tanpa adanya intervensi dari luar.
Serta, dalam hal kepemilikan lahan, kemudian dilakukan pembatasan luasan
kepemilikan tanah bagi setiap orang demi terciptanya keadilan bagi segenap bangsa
Indonesia. Namun, realitasnya apakah sudah sesuai dengan harapan yang ada.
Dari data Komisi Nasional HAM tahun 2016, tercatat bahwa 0,2
% penduduk Indonesia telah menguasai sebanyak 74% Tanah di
Nusantara . Lebih lanjut, fakta membuktikan bahwa terdapat sebuah
perusahaan yang memiliki luas lahan pribadi hingga 5 Juta
Hektar. Padahal, di Afrika Selatan, kondisinya 5 (lima) %
penduduk kulit putih menguasai 50% tanah Bangsa asli, dan akibatnya Negara tersebutpun
mengalami krisis berkepanjangan.
Tidak hanya itu, dari Data Kompas pertahun 2011
tercatat beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah
menancapkan kukunya denga membangun SPBU di beberapa lokasi strategis.
Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU.
Bahkan pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk
membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, berdasar data dan fakta diatas, tentu dalam
benak ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, dimakah
keberpihakan pemerintah dalam menyelamatkan problematika tersebut. Adilkah?
Reformasi Agraria (Wujudkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun
1960)
Tanah/Lahan telah menjadi alat ekonomi yang dimiliki oleh 0,2%
penduduk yang berstatus konglomerat di Indonesia, tentunya hal ini akan
dirasakan dampaknya pada masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah,
yang juga berkeinginan memiliki tempat tinggal. Bagaiamana tidak, hal tersebut akan
berimplikasi dengan terjadinya kelangkaan pada sumberdaya tanah,
yang membuat harga tanahpun akan melonjak tinggi, dan tidak ada
kesempatan bagi masyarakat lain untuk dapat memilikinya secara
adil. Sebab, dengan harga tersebut tentu tidak akan pernah setara dengan penghasilan
perhari yang serta merta hanya dapat mencukupi untuk makan sehari-hari.
Akibatnya, terjadilah kemiskinan berkelanjutan. Di desa, petani
hanya memiliki sepetak lahan yang penghasilannya tidak pernah mencukupi,
bermigrasilah ia kekota dan membangun rumah didalam kawasan ilegal yang
tumbuh cepat menjadi daerah kumuh perkotaan. Dikota, karena
tidak adanya skill yang ia miliki, si mantan petani beralih profesi
menjadi buruh. Maka, apa yang ia dapat? Kesulitan yang melebihi dari
sebelumnya di Desa, sebab penghasilan yang ia dapat, sama saja
yang ia miliki antara di Desa dan di Kota.
Oleh karenanya, Negara dalam hal ini harus secepatnya
melakukan reformasi agraria. Reformasi agraria atau secara legal formal disebut
juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang
susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria. Dalam
pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria
mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".
Lebih lanjut, demi menciptakan hal tersebut tentunya Undang-Undang
Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 harus diimplementasikan sesuai kaidahnya. Dimana
tanah/lahan sudah harus dibagi secara adil kepada seluruh masyarakat Indonesia,
karena sifatnya yang berlaku secara sosial (pasal 6). Melakukan pembatasan
kepelimikan lahan, demi menciptakan keadilan untuk segenap Anak Bangsa (Pasal
7) Serta, penguasaan tanah/lahan oleh asing atas dasar untuk melakukan usaha,
secepatnya juga sudah harus dikembalikan ketangan Negara (Bagian IV, Pasal 30).
Adapun, terdapat beberapa catatan dalam memperkuat
Undang-Undang tersebut yang selama hengkanya Presiden Soekarno, tidak
pernah lagi diimplementasikan dan direvisi sesuai dengan keadaan
zaman. Hal ini tentunya dilakukan tanpa menghilangkan tujuan substansi
pembuatannya. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, tentang
aspek lahan yang harus segera diperluas cakupannya, yang semula hanya berlaku
pada pertanian dan perikanan. Kedua, dalam hal dimensi sanksi, Undang-Undang
ini masih memberlakukan 3 bulan penjara dan denda 10 ribu bagi para pelaku yang
melanggar, dan hal ini tentunya bukan hal yang wajar dimana Hak Atas Memiliki
(HAM) Tanah sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat masih menjadi barang yang
terjajah dan kemudian diperdagangkan.
UUPA Sebagai Dasar Implementasi Hasil Perencaan Ruang
Undang-undang pokok agraria adalah segalanya bagi perencanaan
ruang, sebab segala urusan tentang perencanaan baik itu RTRW, RDTR, ataupun
RTBL, dominasi letak perencanaannya ada diatas ruang tanah. Dengan hadirnya
undang-undang tersebut, maka tidak ada lagi kendala dalam pengimplementasian
perencanaan ruang. Sebab, urusan tanah dapat diatur dengan seksama tanpa
timbulnya diskriminasi diantara berbagai kelas sosial masyarakat. Seperti
pembangunan infrastruktur yang selalu terkendala dengan pembebasan lahan,
dengan diberlakukannya UUPA maka seluruh status tanah itu bersifat sosial.
Artinya, bahwa ketika pemerintah membutuhkan lahan untuk pembangunan, maka
masyarakat dimanapun itu harus secara sukarela memberikan hak tanahnya kepada
Negara, yang tentunya Negara sendiri wajib memberikan ganti rugi sesuai dengan
hak yang telah diambilnya dari masyarakat. Sehingga, apabila hal tersebut
dimanfaatkan dengan baik, maka pembangunan akan lebih cepat terlaksana, tanpa
adanya konflik sosial yang berkepanjangan.
Begitu juga dengan status lahan terlantar yaitu lahan yang tidak
produktif selama beberapa puluh tahun, yang manfaatnya tidak dapat dirasakan
oleh orang banyak. Maka, secara langsung hak tanah tersebut dapat menjadi milik
Negara, untuk dikelola demi kesehjateraan masyarakat.
Serta, terkait dengan kepemilikan luas lahan pribadi yang
berlebihan. Tentu hal tersebut akan segera ditindak sesuai dengan UUPA yang
berlaku, yang nantinya apabila tanah/lahan tersebut telah kembali pada Negara,
maka sudah sepantasnya tanah tersebut dibagi kepada masyarakat untuk dijadikan
sumberdaya tanah yang produktif.
Oleh karena itu, penguatan terhadap UUPA adalah dasar bagi
implementasi hasil perencanaan, tanpa hal tersebut maka hasil perencanaan
selamanya tidak akan terimplementasi dengan baik. Sebab, tanah adalah medium
perencanaan, yang pengaturannya tentu harus sesuai dengan perencaan yang telah
dilakukan secara komperhensif. Kita harus memberikan applause kepada
pemerintah, karena telah mengabungkan agraria dan tata ruang. Karena bila
pengaturan agraria baik, tentu rencana apapun yang dibuat sepantasnya pasti
akan terwujud, begitupun sebaliknya, secantik apapun kamu merencanakan ruang
wilayah atau kota tanpa didukung dengan pengaturan agraria yang baik, pasti
hasil perencanaanmu tidak akan pernah terimplmenetasi.
Penulis : Febrianto Samin