Dampak globalisasi dalam ruang geografis dewasa ini terlihat dengan banyaknya terjadi konsentrasi yang tidak merata baik itu di skala negara, skala regional, skala kota hingga pada skala desa. Terjadi perubahan cara pandang dalam memahami fenomena globalisasi dewasa ini. Perkembangan globalisasi secara langsung dapat kita lihat pada pengaruhnya terhadap prospek pertumbuhan sebuah negara serta dampaknya terhadap perumusan kebijakan.
Analisis yang dipergunakan dalam hal ini, berdasarkan kepada 3 (tiga) fakta mengenai teknologi dalam perdagangan dan produksi sektor-sektor modern, yaitu (a) aktivitas sektor modern dikelilingi oleh perbedaan dan perubahan skala ekonomi yang berasal dari sumber daya, baik itu sosial maupun politik yang pengaruhnya sama besar seperti halnya ekonomi; (b) Pergeseran fungsi ruang ruang, dimana ruang lingkup secara geografis serta hubungan dengan kenaikan ekonomi, serta; (c) Globalisasi merubah perdagangan internasional alamiah, yaitu melalui fasilitasi fragmentasi produksi.
Hal ini tidak saja merubah defenisi wilayah sebagai bentang
geografis akan tetapi peran wiayah (termasuk desa) dalam jejaring perdagangan
global, yang didefinisikan sebagai ruang produksi. Dalam ruang produk,
keseluruhan wilayah tersebut menjadi terspesialisasi, bahkan mungkin
spesialisasi dalam beberapa hal saja, bukan integrasi produksi keseluruhan
produk.
Sementara itu, pertumbuhan biasanya bersifat sebagian-sebagaian
tidak pararel, sehingga mengakibatkan beberapa wilayah akan mengalami
pertumbuhan yang cepat sedangkan wilayah lain menjadi wilayah tertinggal. Lebih
jauh lagi, terdapat kecenderungan yang mengalami ketertinggalan tersebut adalah
masyarakat kelas menengah ke bawah, yang selama ini terkonsentrasi pada wilayah
pedesaan.
Ketika globalisasi menyebabkan dispersi kegiatan, sehingga
pembangunan ekonomi menciptakan ranking, tidak secara paralel, dimana wilayah
pada beberapa negara (termasuk Indonesia) akan mengalami pertumbuhan yang cepat
sementara yang lain akan tertinggal. Pada tingkat mikro, hal itu menunjukkan
pentingnya mengatasi kegagalan koordinasi dan efek ambang batas dalam
pertumbuhan kota-kota baru dan membangun industri-industri baru di negara
berkembang. Maka pertanyaan besarnya adalah siapa yang dintungkan dan siapa
yang akan terus tertinggal?
Anthony J. Venables (2000) mengungkapkan bahwa dampak globalisasi
yang terjadi secara multispasial disebabkan oleh perbedaan skala ekonomi
(disparitas equilibrium), kesenjangan upah, serta kentalnya pertumbuhan yang
tidak merata. Perbedaan skala ekonomi wilayah karena perbedaan pertumbuhan dan
arus investasi yang banyak terjadi pada wilayah perkotaan menjadikan wilayah
perkotaan menjadi kutub abadi dari pudat pertumbuhan yang disayangkan tidak
berbanding lurus dengan perkembangan wilayah hinterland-nya (wilayah
pinggiran/pedesaan).
Hal ini juga serta merta berakibat pada wilayah pinggiran
perkotaan dan perdesaan untuk mendapatkan manfaat untuk meningkatkan akses ke
pasar besar, yang berarti terjadi kesenjangan pendapatan dan upah antara kota
dan desa. Sementara itu dalam ruang produksi, wilayah perkotaan telah menjadi
wilayah yang terspesialisasi dalam jejaring pasar global yang berdampak pada
wilayah perkotaan akan mengalami pertumbuhan yang cepat sedangkan wilayah lain
menjadi wilayah tertinggal. Lebih jauh lagi, terdapat kecenderungan yang
mengalami ketertinggalan tersebut adalah masyarakat kelas menengah ke bawah di
wilayah pinggiran dan perdesaan.
Isu Kebijakan Strategis
Dalam perkembangannya, pendekatan New Economic Geography
menghubungkan langsung teori klasik Von Thunen tentang wilayah dan pasar.
Menurut Krugman dan Fujita (2004), Von Thunen sudah meletakkan landasan teori
tentang aglomerasi yang kuat dalam membuat suatu pola land use (guna lahan)
suatu kota menggunakan model land use pertanian, yang dapat menjelaskan tekanan
industri akan lebih besar pada pusatnya. “So economists believe that companies
agglomerate because of agglomeration economies”.
Von Thunen memahami bahwa skala ekonomi di masing – masing
tingkatan wilayah adalah sesuatu penting untuk pengaglomerasian industri. Dalam
terminologi industri modern menurut Krugman dan Fujita (2004), new economic
geographymempertimbangkan keterkaitan forward – backward linkage dengan pasar
lokal besar atau untuk merencanakan suatu lokasi industri di lokasi tertentu,
kita harus mampu meramalkan arah pergerakan aglomerasi industri dan manusia
dengan melihat ke belakang yaitu pemahaman tentang teori aglomerasi ekonomi klasik
seperti yang sudah dijelaskan oleh Von Thunen dengan sistematis.
Di sinilah arti dari “general equilibrium” yang berbicara tentang
gaya centripetal (gaya ke dalam) yang menarik kegiatan ekonomi secara bersama
sama dan gaya centrifugal (gaya keluar) mendorongnya beraglomerasi, dimana
ruang ekonomi dibentuk oleh dua kekuatan tersebut.
Untuk mengatasi dampak negatif perdesaan dari keberadaan
globalisasi, maka perlu upaya strategis sebagai upaya untuk mengurangi dampak
ketimpangan wilayah pedesaan. Pertama, adalah dengan upaya mensintesis hubungan
kunci antara wilayah perkotaan dan perdesaan yang saling berkomplementer
(saling melengkapi) dimana desa berperan sebagai penyokong (supplier) kegiatan
ekonomi perkotaan.
Perbedaan varietas sumber daya secara eksogen menjadi kekuatan
utama pedesaan untuk berkembang, misalnya pada sektor pangan. Dalam keterkaitan
antara wilayah perkotaan dan perdesaan, wilayah perdesaan harus didorong untuk
mempu menghasilkan suatu komoditas yang mendukung sektor ekonomi utama pada
wilayah perkotaan. Sementara itu wilayah perkotaan sendiri harus mampu
menempatkan dirinya dalam jejaring pasar global yang lebih luas.
Kondisi ini pada akhirnya akan membentuk keterkaitan forward –
backward linkage dengan pasar lokal yang tentunya akan berdampak pada
peningkatan pendapatan bagi masyarakat perdesaan dan peningkatan skala
pendapatan skala makro bagi wilayah perkotaan seperti yang diungkapkan oleh Von
Thunen sebagai “general equilibrium”.
Penulis : Atri Munanta