Dalam beberapa hari ini, saya sedang semangat-semangatnya
mengikuti kuliah di kampus. Bukan karena tugas tapi karena mendapat mata kuliah
yang sebelumnya belum pernah dapatkan sebelumnya di bangku strata satu yaitu
Geomorfologi. Dalam mata kuliah ini, materi pelajaran diampuh langsung oleh
Prof. Dr. Rernat Junun Sartohadi, M.Sc atau akrab dipanggil dengan Prof. Junun.
Secara umum, geomorfologi adalah ilmu yang mengkaji tentang bentukan permukaan lahan di bumi seperti morfologi, bentuk lahan, proses serta material dalam satuan elemen lahan. Hal ini sangat menarik perhatian saya tentang bagaimana bentukan lahan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup dengan lingkungannya.
Selama kelas berlangsung, saya memperhatikan apa yang dituturkan oleh Prof. Junun di kelas. Sedikit terlintas dipikiran ini tentang apa hubungan antara geomorforlogi dengan planologi yang merupakan background saya di sarjana. Untungnya disaat yang bersamaan, Prof. Junun memberikan kesempatan bertanya kepada mahasiswa tetang materi kuliahnya.
Sayapun berinisiatif mengacungkan jari pertama kali, dan Prof. Junun pun mempersilakan saya memberi pertanyaan. Dengan suara yang tegas dan santun, saya bertanya tentang bagaimana ilmu geomorfologi yang dipelajari ini tersubstitusikan ke bidang ilmu planologi. Secara pemahaman, antara planologi dan geomorfologi itu 2 bidang ilmu yang berbeda ranahnya. Planologi lebih kearah perencanaan wilayah dan morfologi tentu mengkaji bentukan lahan.
Saya pun menjelaskan dengan contoh ketika kita ingin merencanakan suatu kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tentunya terdapat justifikasi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam Kawasan budidaya sendiri umumnya terdapat zona permukiman yang sering dijadikan lahan terbangun. Nah bagaimana seharusnya peran geomorfologi dalam perencanaan wilayah dan kota.
Dengan sikap tenang Prof. Junun menjawab bahwa seharusnya seluruh bidang ilmu spasial harus bertitik tolak dari sudut pandang geomorfologi. Khusus planologi, hal yang pertama yang harus dilakukan adalah lebih melihat genesis lokasinya seperti contoh diatas. Misalkan, genesisnya merupakan struktural maka tentu penekanannya melihat materialnya yang seperti apa lalu kemudian ke tahap prosesnya.
Sebagai langkah awal dari contoh kasus diatas adalah melihat data data morfologi kawasannya. Apakah morfologinya berupa kawasan berbukit bergelombang, berombak, dataran rendah atau dataran tinggi. Katakanlah kawasan yang dimaksud adalah daerah dataran rendah yang memiliki landform (bentuk lahan) fluvial yang dimana bentuk lahan ini memiliki sifat berpotensi banjir. Dari data ini saja, kita sudah dapat mendeteksi apa yang seharusnya dilakukan dalam proses perencanaan.
Lebih lanjut lagi, beliau kemudian menambahkan bahwa sekarang ini di Indonesia sedang mengalami dosa spasial berjamaah. Kenapa bisa seperti ini? hal ini karena paradigma tentang Landscape Mapping Processes masih terpaku pada teori-teori yang sudah ada. Lanjutnya lagi, kebanyakan teori yang diadopsi sampai sekarang merupakan teori global yang kemudian disubstitusikan pada lokasi yang tidak represntatif sehingga menyebabkan banyak kekeliruan dalam penerapannya. Contohnya adalah aturan overlay dalam penentuan fungsi kawasan budidaya dan kawasan lindung.
Menurut Prof Junun, Standar aturan tersebut dibuat oleh Kementrian Kehutanan yang lebih menitikberatkan nilai pada pertimbangan erosi lahan bukan peruntukan lahan terencana. Tentunya hal ini sudah kurang relevan jika digunakan sebagai standar pemetaan untuk penentuan fungsi kawasan dalam perencanaan wilayah dan kota.
Sambungnya, jika seandainya pendekatan geomorfologi ini benar-benar disubtitusikan pada keilmuan planologi, tentunya tidak lagi dibutuhkan banyak hasil-hasil overlay di lapangan. Untuk menerapkan ilmu geomorfologi terhadap rencana tata ruang dapat dilakukan dengan mengidentifikasi :
Secara umum, geomorfologi adalah ilmu yang mengkaji tentang bentukan permukaan lahan di bumi seperti morfologi, bentuk lahan, proses serta material dalam satuan elemen lahan. Hal ini sangat menarik perhatian saya tentang bagaimana bentukan lahan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup dengan lingkungannya.
Selama kelas berlangsung, saya memperhatikan apa yang dituturkan oleh Prof. Junun di kelas. Sedikit terlintas dipikiran ini tentang apa hubungan antara geomorforlogi dengan planologi yang merupakan background saya di sarjana. Untungnya disaat yang bersamaan, Prof. Junun memberikan kesempatan bertanya kepada mahasiswa tetang materi kuliahnya.
Sayapun berinisiatif mengacungkan jari pertama kali, dan Prof. Junun pun mempersilakan saya memberi pertanyaan. Dengan suara yang tegas dan santun, saya bertanya tentang bagaimana ilmu geomorfologi yang dipelajari ini tersubstitusikan ke bidang ilmu planologi. Secara pemahaman, antara planologi dan geomorfologi itu 2 bidang ilmu yang berbeda ranahnya. Planologi lebih kearah perencanaan wilayah dan morfologi tentu mengkaji bentukan lahan.
Saya pun menjelaskan dengan contoh ketika kita ingin merencanakan suatu kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tentunya terdapat justifikasi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam Kawasan budidaya sendiri umumnya terdapat zona permukiman yang sering dijadikan lahan terbangun. Nah bagaimana seharusnya peran geomorfologi dalam perencanaan wilayah dan kota.
Dengan sikap tenang Prof. Junun menjawab bahwa seharusnya seluruh bidang ilmu spasial harus bertitik tolak dari sudut pandang geomorfologi. Khusus planologi, hal yang pertama yang harus dilakukan adalah lebih melihat genesis lokasinya seperti contoh diatas. Misalkan, genesisnya merupakan struktural maka tentu penekanannya melihat materialnya yang seperti apa lalu kemudian ke tahap prosesnya.
Sebagai langkah awal dari contoh kasus diatas adalah melihat data data morfologi kawasannya. Apakah morfologinya berupa kawasan berbukit bergelombang, berombak, dataran rendah atau dataran tinggi. Katakanlah kawasan yang dimaksud adalah daerah dataran rendah yang memiliki landform (bentuk lahan) fluvial yang dimana bentuk lahan ini memiliki sifat berpotensi banjir. Dari data ini saja, kita sudah dapat mendeteksi apa yang seharusnya dilakukan dalam proses perencanaan.
Lebih lanjut lagi, beliau kemudian menambahkan bahwa sekarang ini di Indonesia sedang mengalami dosa spasial berjamaah. Kenapa bisa seperti ini? hal ini karena paradigma tentang Landscape Mapping Processes masih terpaku pada teori-teori yang sudah ada. Lanjutnya lagi, kebanyakan teori yang diadopsi sampai sekarang merupakan teori global yang kemudian disubstitusikan pada lokasi yang tidak represntatif sehingga menyebabkan banyak kekeliruan dalam penerapannya. Contohnya adalah aturan overlay dalam penentuan fungsi kawasan budidaya dan kawasan lindung.
Menurut Prof Junun, Standar aturan tersebut dibuat oleh Kementrian Kehutanan yang lebih menitikberatkan nilai pada pertimbangan erosi lahan bukan peruntukan lahan terencana. Tentunya hal ini sudah kurang relevan jika digunakan sebagai standar pemetaan untuk penentuan fungsi kawasan dalam perencanaan wilayah dan kota.
Sambungnya, jika seandainya pendekatan geomorfologi ini benar-benar disubtitusikan pada keilmuan planologi, tentunya tidak lagi dibutuhkan banyak hasil-hasil overlay di lapangan. Untuk menerapkan ilmu geomorfologi terhadap rencana tata ruang dapat dilakukan dengan mengidentifikasi :
1. Deliniasi Area Mountainous-Plain skala 1 : 250.000
2. Deliniasi Area Structural-Volcanic Origin skala 1
: 100.000
3. Deliniasi Landform skala 1 : 50.000
4. Deliniasi Landform hasil campur tangan manusia (antrophological)
5. Deliniasi Erosional-Depositional-Residual Landform skala 1 : 25.000
6. Deliniasi Single Slope skala 1 : 5.000
Berdasarkan pemaparan Prof. Junun tersebut, saya pun kemudian setuju dengan yang dikatakan beliau. Seandainya semua pemetaan suatu wilayah itu diawali dari pendekatan geomorfologi, tentu pemetaan tata ruangnya murni dari hasil pengembangan ilmu sebab database dari ke enam tahapan tersebut sudah bisa kita identifikasi seperti apa potensi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya tanpa perlu melakukan overlay yang biasanya terkunci pada satuan land unit.
3. Deliniasi Landform skala 1 : 50.000
4. Deliniasi Landform hasil campur tangan manusia (antrophological)
5. Deliniasi Erosional-Depositional-Residual Landform skala 1 : 25.000
6. Deliniasi Single Slope skala 1 : 5.000
Berdasarkan pemaparan Prof. Junun tersebut, saya pun kemudian setuju dengan yang dikatakan beliau. Seandainya semua pemetaan suatu wilayah itu diawali dari pendekatan geomorfologi, tentu pemetaan tata ruangnya murni dari hasil pengembangan ilmu sebab database dari ke enam tahapan tersebut sudah bisa kita identifikasi seperti apa potensi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya tanpa perlu melakukan overlay yang biasanya terkunci pada satuan land unit.
Tentunya pendekatan geomorfologi ini juga untuk mencapai tujuan mulia yaitu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. So, Let’s we go to the correct direction in developing our nature, ucap Prof. Junun ketika selesai menjawab pertanyaanku sambil mengakhiri pemaparan meterinya di ruang kelas.
Penulis : Despry Nur Annisa