Saturday, December 4, 2021

Perlukah KNKTr, Komite Nasional Keselamatan Tata Ruang Dibentuk?


Ditulis Oleh: Jilal Mardhani (12 Januari 2021) 
+++ 

Tadi malam saya menghubungi kawan yang dulu sama-sama kuliah di Planologi, ITB. Dicky Syahromi. Dia setahun lebih muda. Beberapa waktu lalu pernah ditugaskan sebagai Kepala BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Jawa Barat. 

"Ada pejabat BPBD yang tewas juga saat longsor di Sumedang. Pernah jadi staf Dicky?" 

"Staf dari BPBD Kabupaten Sumedang, bang. Dia yang datang pertama kali (ke lokasi) untuk melakukan assessment di hari kejadian tersebut. Almarhum ini bukan staf langsung di bawah saya (dulu). Tapi dia memang staf yang tangguh dan cepat (tanggap) untuk menangani bencana yang terjadi di wilayahnya. Kita benar-benar merasa kehilangan." 

Innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiuun. 

+++ 

Di hari naas bagi Sriwijaya Air yang jatuh di perairan sekitar Kepulauan Seribu, saat mengangkut 50 penumpang dan 12 crew dari Jakarta ke Pontianak, Sabtu 9 Januari 2021 lalu, musibah lainnya juga menimpa warga Sumedang. 

Akhir pekan lalu itu, pada jam yang berdekatan, bencana tanah longsor terjadi di salah satu wilayah perbukitan Jawa Barat tersebut. Yedi S Sos, staf BPBD Sumedang, segera mendatangi lokasi kejadian. Bersama dengan sejumlah aparat dari instansi lainnya, mereka mempersiapkan proses evakusi yang perlu segera dilakukan. 

Tapi sore itu, musibah longsor kedua menyusul. Menggulung tanah perbukitan yang berada di atas mereka. Lalu turun menyapu apa saja yang dilintasinya. Termasuk Yadi dan beberapa yang lain. 

Mereka tak sempat menyelamatkan diri. Gugur saat membantu korban longsor pertama yang terjadi beberapa jam sebelumnya. 

Tanah longsor yang kedua petang itu, juga menewaskan almarhum Kapten Inf. Setyo Pribadi, Danramil Cimanggung. Almarhum Suhanda, Kasi Trantib Kec. Cimanggung. Juga sejumlah korban lainnya. 

Kapolres Sumedang, AKBP Eko Prasetyo Robbyanto adalah salah seorang yang sempat menyelamatkan diri. Pada sejumlah media dikisahkannya, upaya yang dilakukan di saat genting itu. Bersama sejumlah wartawan yang sedang meliput, mereka memecahkan jendela masjid di dekatnya. Agar dapat berlindung di sana. Sebelum longsor kedua terjadi, Danramil yang tak sempat menyelamatkan diri, sebetulnya sempat terlihat berdiri di belakang dia.  

+++ 

Sekitar jam 10 pagi ini (12-1-2021), portal CNN Indonesia melaporkan, korban meninggal dunia yang ditemukan sudah berjumlah 15 orang. 

Beberapa waktu sebelumnya, saya menerima daftar Korban Hilang yang berjumlah 28 orang. Ketika itu,  jumlah yang tewas masih tercatat 13 jiwa. Belum adà konfirmasi apakah 2 mayat tambahan yang dilaporkan CNN Indonesia tersebut, merupakan bagian dari nama-nama yang dinyatakan hilang itu. 

+++ 

Dari pemberitaan berbagai media online, musibah itu terjadi karena bukit setinggi 50 meter yang berada di belakang kompleks Pondok Daud, amblas. Celakanya, sebagian rumah di Perum SBG Parakan Muncang yang berada di atas bukit tersebut, juga ikut meluruh. Lebar tebing yang longsor diperkirakan sekitar 60 meter. 

Tadi malam, rekan kuliah yang saya hubungi itu, juga mengirimkan sejumlah infografis. Terkait lokasi musibah. Dari sana, tentu dapat dimaklumi jika tim SAR gabungan harus bekerja ekstra hati-hati. Kemungkinan bukit tersebut longsor kembali dan meruntuhkan rumah-rumah lain yang berada di atasnya, sangat patut diwaspadai. 

+++ 

Sebagaimana diberitakan detik.com, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menegaskan, perumahan Pondok Daud yang terletak di Kampung Bojongkondang, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang itu, berada tepat di lereng bukit yang curam. Lokasi yang tidak layak dan sangat berbahaya untuk dijadikan kawasan pemukiman. 

Jika melihat infografis lokasinya, perumahan lain yang terletak di atas bukit yang longsor itu pun juga tak layak. Apalagi beberapa unit rumahnya, kemudian roboh bersama longsor susulan kedua. Diantaranya menewaskan ketiga aparat yang sedang menjalankan tugas penyelamatan di atas tadi. 

+++ 

Pertanyaannya, mengapa dan bagaimana pembangunan perumahan-perumahan tersebut, diizinkan dan dibenarkan di sana? 

Bukankah mereka harus melalui rangkaian proses panjang, yang melibatkan sejumlah kajian, juga kewenangan instansi-instansi yang bertanggung jawab, agar penggunaan lahan hingga segala kegiatan pembangunannya, sesuai kaidah dan tak membahayakan, bukan hanya mereka yang bakal mendiami, tapi juga lingkungan di sekitarnya? 

Dengan demikian, maka iterasi pertanggung-jawaban di bawah ini, sepatutnya dapat kita pertanyakan. 

Pertama, bagaimana dan sejauh mana bisa disimpulkan, bahwa musibah ini, adalah 'bencana alam', dalam arti segala sesuatunya terjadi, karena di luar kuasa manusia yang sudah berupaya maksimal menghindarinya? 

Atau kemungkinan kedua, yakni menyimpulkannya sebagai kecelakaan, karena disebabkan anomali, keteledoran yang tak disengaja, dan sebagainya? 

Atau justru kemungkinan ketiga. Musibah tersebut sesungguhnya disebabkan kesalahan manusia yang abai, tidak memenuhi standar kompetensinya, atau memang ada yang sengaja menelikung prosedur standar dan kebijakan pokok yang telah digariskan, terkait manipulasi (guna) lahan maupun pelaksanaan setiap kegiatan konstruksi di sana? 

Atau malah kemungkinan keempat yang sesungguhnya paling absurd. Karena ternyata, tak ada kebijakan dan prosedur operasional standar yang menjadi acuan, jika ada keinginan untuk memanipulasi guna lahan di sana, serta melaksanakan setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan. 

+++ 

Ini tentang engineering, bung. 

Bukan sekedar proses administratif untuk sertifikasi profesi yang kerap saya tentang itu. Sebab, hanya dilandasi dasar kebijakan dan prosedur operasional untuk memperoleh yang 'melecehkan' ilmu pengetahuan maupun know-how Planologi. 

Beginilah jika landasan pengetahuan yang semestinya susah payah diperoleh pada perguruan tinggi, dibiarkan untuk 'diratifikasi' oleh mereka yang sesungguhnya belum memiliki pengetahuan dan know-how yang teruji dan dapat dipertanggung jawabkan. 

Mulut besar dan ketidak-pahaman mereka, kali ini sesungguhnya sedang menghadapi ujuan berat. Untuk menjelaskan mengapa 'kelancungan' pada musibah di atas, perlu terjadi. 

+++ 

Musibah yang merenggut nyawa manusia, apa lagi dalam jumlah luar biasa, seperti longsor di Sumedang ini, sepatutnya disikapi serius. 

Bayangkanlah, jika puluhan yang kini masih dinyatakan hilang, ternyata menjadi bagian korban yang tak terselamatkan juga. Artinya, longsor di Cimanggung itu, berpotensi menelan korban lebih dari 40 orang. Jumlah yang sepadan untuk disetarakan dengan 62 korban kecelakaan Sriwijaya Air, Sabtu lalu. 

Jika Negara memiliki lembaga KNKT -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi -- untuk mempelajari dengan seksama latar belakang dan penyebab kecelakaannya, mengapa hal serupa tak.dikembangkan untuk Tataruang? 

+++ 

Musibah tanah longsor di Sumedang ini, sepatutnya menjadi titik bangkit kembali, mereka yang menekuni ilmu pengetahuan dan teknologi penataan ruang (spatial planning). Keberadaannya tak bisa diserahkan pada 'begundal profesi' yang hari ini, lebih banyak 'menari' di atas kekeliruan cara pandang dan penyikapan kekuasaan, terhadap esensi keilmuan tata ruang itu, dalam menata dan mengelola kehidupan manusia, di tengah alam semestanya. 

Sebelumnya, argumentasi terkait keniscayaan teknologi yang kini semakin mampu membalikkan, ketidak-mungkinan melakukan analisa data dan informasi ruang secara komprehensif dan terintegrasi, menjadi mungkin, telah disampaikan lewat gagasan yang disebut 'aplikasi realtime tataruang'. Pemikiran sejenis yang disebutkan itu, perlu dipelopori dan dtekuni oleh ilmuan dan akademisi tata ruang di lembaga-lembaga akademis serta penelitian dan pengembangannya. 

Mengapa? 

Karena keberadaan perangkat analisa yang berbasis teknologi informasi dan komputasi tersebut, merupakan alas utama (platform) dimungkinkannya pengembangan kebijakan dan prosedur operasional standar, bagi acuan yang dibutuhkan. 

Setelah itu, baru kemudian keberadaan sejenis Komite Nasional Keselamatan Tararuang dapat terselenggara lebih efektif. Sebab, perangkat memadai untuk melakukan 'proses audit' semestinya -- sebagaimana yang perlu dilakukan terhadap longsor di Sumedang hari ini -- telah tersedia. 

Jika kedua hal itu terwujud, mungkin kita boleh berharap, untuk menumpas 'begundal-begundal profesi' yang berkeliaran di ruang Indonesia ini. 
Selengkapnya

Thursday, August 13, 2020

Menelusur Penyebab Bencana Luwu Utara dan Merekam Hikmahnya

Oleh: Despry Nur Annisa (Founder Panrita Studio)

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki ±17.508 pulau. Garis pantai Indonesia memiliki panjang ± 81.000 Km, lautan yang memiliki luas ± 5.800.000 Km2, dan jumlah penduduk masih berada di peringkat ke-4  dunia, ± 270 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui bahwa negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sumberdaya alamnya meliputi gas alam cair 35% dunia, minyak bumi 85% ASEAN, emas No.4 dunia, 550 spesies mamalia, dan lain sebagainya (Santosa, 2016).


Selain kekayaan SDA dan ketersediaan SDM yang melimpah, Indonesia juga berada dalam posisi ring of fire (cincin api) dunia yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo Australia. Keberadaan lempeng tektonik ini juga dibarengi dengan munculnya titik-titik gunung api. Posisi tersebut menjadikan Indonesia termasuk wilayah yang juga rawan terhadap bencana.Berdasarkan kondisi geomorfologi, Indonesia memiliki bentuklahan yang kompleks meliputi vulkanik, fluvial, aeolin, marin, solusional, struktural, denudasional, glasial (yang hanya terdapat pada puncak Gunung Jayawijaya Papua), organik, dan antropogenik. Bentuk-bentuk lahan ini terbentuk dari tenaga endogen maupun tenaga eksogen yang masing-masing memiliki potensi kebencanaan yang berbeda.


Definisi bencana sendiri menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.


Tren kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2009-2019 meliputi bencana banjir, longsor, dan putting beliung. Ketiga bencana ini merupakan bencana hidrometeorologi. Data tersebut menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi masih dominan terjadi jika dibandingkan bencana geologi.


Salah satu bencana yang baru-baru ini terjadi adalah bencana banjir yang menimpa Luwu Utara dengan merendam 3 kecamatan yaitu Masamba, Baebuanta, dan Sabbang. Menurut warga lokal, bencana banjir ini merupakan bencana banjir parah yang pernah terjadi di Kabupaten Luwu Utara. Kebanyakan menilai bahwa penyebab banjir ini karena akibat alih fungsi lahan. Namun, penulis sendiri tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat tersebut. Penulis berangkat dari pondasi argumen yang menjabarkan kondisi fisik lahan dan kondisi Daerah Aliran Sungai di lokasi kejadian bencana.


Pertama, kondisi fisik lahan yang utama berkaitan dengan kebencanan meliputi kondisi geomorfologi dan kondisi geologi Kabupaten Luwu Utara. Geomorfologi Luwu Utara terbentuk dari bentuk lahan asal struktural dan fluvial. Secara hazard kebencanaan, bentuk lahan yang terbentuk dari proses struktural memiliki potensi bencana gempabumi. Hal tersebut dapat dilihat pada history kejadian gempabumi di lokasi kejadian pada gambar berikut.

 

Gambar 1 ini menunjukkan bahwa lahan struktural rawan terhadap bencana gempabumi. Hal tersebut ditunjukkan dengan sebaran spasial titik-titik gempa berdasarkan pencatatan USGS dan BMKG. Adapun bentuk lahan yang terbentuk dari proses fluvial secara hazard kebencanaan memiliki potensi bencana banjir.


Selanjutnya, kondisi geologi Luwu Utara berada pada jalur Sesar Koro dan Sesar Matano. Letak Kabupaten Luwu Utara yang berada pada jalur sesar semakin menguatkan bahwa secara alami Kabupaten Luwu Utara rawan terhadap bencana geologi dan ditambah kondisi geomorfologinya berupa fluvial yang secara alami memang berpotensi terhadap bencana banjir. 


Tebalnya genangan lumpur yang tertinggal setelah banjir bandang menunjukkan yang terjadi adalah banjir lumpur (mudflow), yaitu jenis gerakan massa tanah dan sedimen (debris) yang berubah menjadi fluida akibat tingginya kandungan air dan mampu bergerak sangat cepat. Banyaknya kandungan lempung membuat mudflow mampu mengalir pada lereng yang sangat landai. Mudflow Masamba berasal dari lereng-lereng pegunungan di utaranya, yang tersusun oleh Granit Kambuno berumur Pliosen dan kelompok Metamorfik Pampangeo berumur akhir Kapur. Kedua batuan berbeda jenis dan terpisah rentang umur panjang tersebut dapat berdampingan di pertemuan lajur patahan Matano dan patahan Palu-Koro, karena kompleksnya tatanan tektonik Sulawesi yang terindikasi dari cepatnya pengangkatan daerah tersebut (mencapai 1,6 mm/tahun).


Pengangkatan tektonis yang cepat, aktifnya patahan yang menghancurkan batuan, aktifitas fluida panas geotermal, tingkat pelapukan yang tinggi, dan besarnya intensitas hujan daerah tropis, semuanya berkontribusi dalam menyediakan material yang dibutuhkan bagi mudflow Masamba. Di sisi lain, Teluk Bone yang terus mendalam secara tektonis pun memperbesar gradient (sudut lereng permukaan Bumi), memberikan cukup alasan bagi gaya gravitasi untuk menarik debris dari lereng-lereng pegunungan. Tumpukan-tumpukan debris tersebut kini membentuk dataran pesisir deltaik Rongkang-Balease, yang secara topografik menarik masyarakat untuk bermukim di wilayah ini. Sedangkan proses geologi akan terus berulang (Husein, 2020). Jadi dapat dijustifikasi bahwa, komposisi granit kambuno yang mendominasi titik kejadian bencana di hulu memiliki sifat kedap air dan mengandung mineral feldspar. Lahan yang tersusun atas komposisi ini memiliki sifat alami lebih mudah lapuk jika dibarengi oleh curah hujan yang tinggi dan titik suatu lokasi berada di jalur sesar yang intens mengalami pengangkatan geologi. Inilah yang menjadi titik awal bencana di Kabupaten Luwu Utara.


Kedua, penulis ingin membahas terkait kondisi DAS Luwu Utara sebelum kejadian bencana. DAS di Lokasi memang. Kondisi DAS tersebut sudah terlihat tidak sehat (kritis). Hal ini dapat terlihat dari dominasi kenampakan gosong sungai di citra. DAS kritis biasanya disebabkan oleh alih fungsi lahan. M.Rokhis Khomarudin, Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh Lapan menyebutkan, hasil analisis tutupan lahan di DAS Balease, Rongkong dan Amang Sang An dengan citra landsat 2010-2020 menunjukkan ada penurunan hutan primer sekitar 29.000 hektar. Juga terjadi peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektar dan lahan perkebunan sekitar 2.261 hektar.


Adapun kondisi DAS yang belum kritis Level Up jika diinterpretasi dari citra, tidak akan menampilkan dominasi warna band kenampakan gosong sungai. Gosong sungai ini menandakan bahwa aliran DAS di area terebut memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi sehingga terjadi pendangkalan. Belum lagi jika kita melihat pola aliran Sungai Masamba yang hanya memiliki 2 ordo, yang secara alami memiliki pola aliran memanjang namun sempit. Kondisi ini jelas semakin memperparah bencana hulu sehingga longsoran hulu meluap melebihi kapasitas daya tampung DAS di lokasi tersebut.




Jadi berdasarkan uraian tersebut, maka penulis menyatakan bahwa titik awal kejadian bencana murni faktor alam, yakni pergerakan geologi. Hadirnya ulah manusia yang menjadikan kondisi DAS kritis, menjadi semakin memperparah dampak negatif kejadian bencana ini. Pernyataan ini juga diperkuat pada hasil dokumentasi yang menunjukkan bahwa titik-titik awal kejadian longsor tidak terjadi pada areal lahan yang mengalami alih fungsi karena vegetasi di titik longsor hulu ini masih rapat.


Kemudian jika kita meninjau tujuan penaataan ruang Kabupaten Luwu Utara, tercantum bahwa aspek lingkungan dan aspek bencana menjadi salah satu pijakan utama wilayah ini untuk melakukan pengembangan sektor agro dan kelautan. Namun realitanya, tata ruang Luwu Utara dalam kondisi realitasnya belumlah sesuai dari apa yang telah dicita-citakan. Seharusnya jika tata ruang Luwu Utara sudah menekanankan aspek kebencanaan, tingkat kesiapsiagaan akan nampak terlihat.



Sehingga tidak salah jika dinyatakan juga bahwa terjadi inkonsistensi Penataan Ruang. Sejatinya, RTRW memang merupakan dokumen teknis namun dalam realitas pelaksanannya seringkali masih ditetapkan oleh kepentingan ‘politis’ yang hampir seringnya, masyarakatlah yang lagi-lagi menjadi korban utama. Belajar dari sini, maka penulis mempunyai poin pembelajaran bersama dari kejadian bencana Luwu Utara adalah sebagai berikut:

  1. Dokumen teknis tata ruang sering kali tidak menjadikan aspek geologi dan aspek geomorfologi sebagai pijakan dasar dalam merencanakan sebuah wilayah. Padahal idealnya, aspek geomorfologi dan geologi ini adalah basis bukan sekadar dijadikan sebagi data pendukung saja.
  2. Lemahnya pengawasan pemerintah dalam pengendalian ruang menjadikan pelaksanaan tata ruang akan longgar.
  3. Lemahnya pemahaman masyarakat terhadap rambu-rambu kelestarian lingkungan sehingga dalam hal ini, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi massif ke masyarakat terkait rambu-rambu dalam menjaga kelestarian lingkungan.
  4. Minimnya biaya APBN dalam menanggung pembiayaan pembangunan di tiap wilayah/kota sehingga pemerintah maupun masyarakat di wilayah/kota seringkali mencari jalan sendiri untuk mencapai derajat kesejahteraan. Ini juga yang biasanya menjadi pemicu terjadinya alih fungsi guna lahan, baik itu yang aktornya adalah birokrat dan korporat ataupun masyarakat itu sendiri juga.
  5. Perlunya pengelolaan SDA negeri secara mandiri agar pemasukan APBN bisa berdikari dan mampu menopang seluruh pembangunan hingga ke level daerah. Selama negeri ini tidak memiliki kemandirian dan visi politik yang jelas, maka selama itu pula negeri ini bergantung pada utang luar negeri. Padahal negeri ini adalah negeri kaya akan SDA. Namun sayangnya, penyerahan pengelolaan SDA negeri ini kepada korporat Asing-Aseng semakin menjadikan negeri ini terseret dalam arus neokolonialisme dan neoimprealisme.


Selengkapnya

Tuesday, August 11, 2020

Food Estate: Masa Depan Ketahanan Pangan?

















Presiden Joko Widodo merencanakan pembangunan pusat lumbung pangan terintegritas (food estate) di bekas area pengembangan lahan gambut (PLG), lahan dimana proyek cetak sawah sejuta hektar era Presiden Soeharto pada tahun 1995 dibangun. Lokasinya berada 105 kilometer dari sisi selatan Kota Palangka Raya, tepatnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

 

Pada tahap awal, Bupati Pulang Pisau, Edy Pratowo menginformasikan bahwa pemerintah akan terlebih dahulu menggarap lahan tersebut sebesar 165 hektare atau 11,3% dari luas total keseluruhan berkas area PLG sebesar 1,46 juta hektare.

 

Walau sudah ada titik terang untuk dilaksanakan, proyek lumbung pangan nasional ini masih memiliki beberapa hambatan, salah satuya mengenai konsep lumbung pangan yang akan dibangun. Pada rencana awal, lumbung pangan disepakai untuk dikembangkan komoditas tanaman padi dilahan eks PLG. Sedangkan dengan ditunjuknya Kementerian Pertahanan sebagai pemimpin proyek pada kunjungan Presiden di Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, 9 Juli lalu. Kementrian pertahanan mengusulkan  agar konsep lumbung pangan ini dibangun komoditas tanaman pangan strategis seperti singkog, di luar lahan eks PLG.

 

Tidak hanya itu, perbedaan konsep dari sisi pengelolaan dan model bisnis lumbung pangan masih dalam perdebatan. Apakah akan melibatkan  BUMN atau akan dikelola oleh sebuah badan khusus.

 

Dilain hal, dari beberapa kajian terdahulu dibangunnya konsep lumbung pangan berskala besar memiliki risiko yang besar untuk kembali menggarap kawasan yang dipenuhi lahan gambut tersebut.

 

Dari hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Peneliitian, dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Palangka Raya, pada Agustus 2018 diketahui bahwa kesesuian lahan pada area eks PLG masuk kedalam kesesuaian kelas S-3 yang artinya bahwa akan sangat sulit area eks PLG dikembangkan sebagai  lahan pertanian. Karena adanya potensi banjir pada saat musim hujan, dan potensi kebakaran lahan pada saat musim kemarau.

 

Namun, Hasil kajian berbeda dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui penyusunan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang disusun pada Mei-juni 2020. Diinformasikan dari 1,4 juta hectare  eks Lahan PLG, ada 210 ribu hectare lahan untuk kelas S-1 atau sangat layak bagi padi persawahan, kesesuaian S-2 seluas 226 ribu yang hanya sesuai untuk padi gogo dan palawija, sementara kesesuaian S-3 yang hanya cocok untuk perkebunan sebesar 325 ribu hektare.

 

Wakil Meneteri KLHK, Allue Dohong menyatakan bahwa kajian tersebut telah melalui tiga kali konsultasi publik, dimana yang pertama diadakan bersama perwakilan Komisi IV DPRD Kaukus Kalimantan, kedua Anggota DPD Kaukus Kalimantan, dan terakhir bersama perwakilan perguruan tinggi dan peneliti seluruh Kalimantan. “Secara umum mendukung” katanya.

 

Sementara, Dwi Andreas Santosa, Pakar Bitoeknologi Tanah dan Genetika, Institut Pertanian Bogor, mengatakan bahwa dia mendukung hasil kajian yang disimpulkan Bappeda Kalimantan Tengah. Dari pengalamannya menyusun AMDAL di tahun 1997 sebagai basis proyek PLG 1 juta hektar, disampaikannya bahwa sebagian  besar lahan eks PLG masuk ke kelas kesesuaian N (non-suitable) yang artinya sangat sulit melakukan pengembangan budidaya tanaman apapun disana. Menurutnya kegagalan proyek eks PLG pada era Soeharto sudah cukup menjadi bukti terhadap kebijakan yang seringkali menyalahi kaidah ilmiah.

 

Tapi, bukan berarti eks PLG tidak dapat dibudidayakan, hanya saja Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dengan biaya yang luar biasa, disamping itu juga lahan-lahan tersebut harus rutin ditanami berahun-tahun sampai subur. Menurutnya, lahan tersebut sebaiknya dikembalikan menjadi hutan, karena membangun lumbung pangan di eks PLG bukan solusi jangka pendek menghadapi krisis pangan yang menurutnya semakin dekat.


Sumber: Tempo.co


Selengkapnya

Saturday, May 2, 2020

Involusi Kesehjateraan Petani dalam Modernisme (Sebuah #Tanggapan)




Menarik bahwa dari sosio-arch kita melebar sedikit keunsur pendukungnya, dalam hal ini mengenai pengelolaan pertanian.  Garis besarnya adalah, Mengapa terjadi Involusi Kesejahteraan Petani / Involusi Pertanian.

Ini hal yang simple untuk dipikirkan, asal saja kita mau jujur melihat keuntungan dan kerugian dari Pertanian Tradisional dan Pertanian Modernisme.

Tetapi sebelum kita membahas itu, ada baiknya kita amati Involusi Pertanian yang terjadi di Indonesia. Saya membatasi bahasan ini pada scope Indonesia sebagai studi kasusnya, karena faktor-faktor pendukung industry pertanian di Indonesia sangat spesifik, dan agak sulit untuk ditinjau dari hanya beberapa perspektif.

Menurut saya sebenarnya kurang tepat kalau kita menganggapnya seperti pandangan Geertz bahwa itu terjadi karena peningkatan Jumlah penduduk pada komunitas petani dengan kondisi sumber daya yang terbatas, sehingga penghasilan penggarapan sawah semakin hari semakin sedikit yang diistilahkan shared poverty.

Begitu juga kalau kita mengambil pandangan Nirzalim dan Maliati yang mengatakan bahwa modernisme telah menyebabkan perubahan pada pola Produksi pertanian, dimana yang sebelumnya bersifat kolektif, dengan biaya Produksi yang murah, yang kemudian berubah seiring waktu dengan sistem upah (menambah biaya Produksi).

Menurut saya tidak sesederhana itu. Fenomena micronya memang seperti itu, tetapi kondisi macro seperti apa yang mengendalikan terjadinya perubahan itu, dan apakah perubahan itu adalah satu-satunya penyebab involusi pertanian, ternyata tidak juga.

Ada banyak faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap kejadian Involusi Pertanian di Indonesia. Mari kita lihat beberapa ilustrasi.

Booming Pertanian pada era PELITA (Pembangunan Lima Tahun) disebabkan karena sejak April 1969 Pemerintah mencanangkan REPELITA (rencana pembangunan Lima Tahun) dimana semua sector menumbuh perekonomian sudah diletakkan rancangan Programnya sampai 30 tahun ke depan. Khususnya untuk Pertanian Booming mulai terjadi pada PELITA III dan PELITA IV, dimana kita lihat di Sulawesi Selatan Kabupaten-kabupaten berlomba-lomba mengadakan festival “Lapppo Ase” (Golden Harvest). 

Ini sangat jelas terjadi karena adanya campur tangan Pemerintah untuk membantu masyarakat Petani dalam hal Bantuan penegetahuan dan teknologi, Pengorganisasian, Tuntunan Manajemen, Jaminan Pemasaran dan Proteksi. Hasilnya swasembada pangan dan kesejahteraan petani. Dimana inti rahasianya, nanti kita bahas.

Kalau kita Lebarkan konteks Pertanian dalam arti yang luas, maka itu mencakup juga:
1. Pertanian Rakyat
2. Perkebunan (Rakyat dan Perkebunan Besar)
3. Kehutanan
4. Peternakan (Rakyat dan Perusahaan)
5. Perikanan (darat dan laut)

Pada era PELITA I s/d PELITA IV semua sektor ini mendapat perhatian pemerintah dalam semua lini : Pemrograman, Pembukaan lahan, Permodalan, Bantuan IpTek, Pengorganisasian, Pembinaan, Jaminan Pasar, dan Proteksi.

Pada era ini Pengusaha, pemodal, bermain dibawah Kendali pemerintah, untuk menunjang semua lini di atas, termasuk meningkatkan eksport.

Kemudian masuk Era Reformasi, dimana kestabilan politik yang terjadi pada era sebelumnya menjadi rusak oleh suatu sebab (yang tidak saya uraikan disini). Seperti kita ketahui, ketika suatu Pemerintahan berada dalam kondisi itu, maka program-program kesejahteraan rakyat menjadi prioritas kesekian. Kalaupun didengungkan, maka itu lebih dengan tujuan propaganda Politik, bukan dengan tujuan yang seharusnya.
  
Kondisi ini berlangsung selama 30 tahun, yang diperburuk dengan kondisi bahwa Pengusaha, Pemodal tidak lagi bermain dibawah Kendali pemerintah, tetapi karena sistem Pilkada dan sistem Pileg membutuhkan dana yang besar, maka terjadi kondisi sebaliknya, Pemerintah, dengan otonomi daerah yang kebablasan cenderung bergerak dibawah kendali Pemodal. Pengusaha, Pemodal yang dimaksud disini adalah yang berkelas menengah sampai yang berkelas Raksasa.

Apa kemudian yang terjadi dalam kondisi seperti ini?

Tidak adanya rencana pembangunan jangka panjang yang langgeng, tidak ada Program kesejahteraan rakyat yang bisa berjalan langgeng, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, yang diakibatkan pergantian Pimpinan dan jajaran secara “bedol deso”, maka hasilnya adalah : 
- Tidak solidnya Pemrograman, 
- Pembukaan lahan oleh Pemodal Asing, 
- Permodalan model Kapitalis, 
- Tidak ada Bantuan IpTek yang massif
- Tidak ada Pengorganisasian, 
- Tidak ada Pembinaan Industri, 
- Tidak ada Jaminan Pasar, dan 
- Tidak ada Proteksi 

OK.. Kita kembali ke pengertian Involusi Pertanian, yaitu suatu kejadian dimana perubahan pola pengelolaan dan hasil Pertanian dengan semua sumberdayanya pernah berkembang, berevolusi ke suatu kondisi pengelolaan dan hasil yang lebih baik dari sebelumnya, kemudian terjadi lagi degradasi pola pengelolaan dan hasil Pertanian yang kondisnya lebih buruk dari Kondisi sebelumnya.

Dari cerita di atas (yang sayang akurasi kebenarannya tidak didukung oleh data) dapat kita bagi Era Pertanian di Indonesia menjadi tiga bagian :

1. Era sebelum REPELITA, yaitu Era Pertanian Rakyat dengan pola pengelolaan secara Gotong Royong. Karena lahan masih tersedia maka hasil panen yang dikelola secara tradisional masih bisa mencukupi kebutuhan pangan. Sektor Perkebunan masih menggunakan manajemen Kolonial, dan masih OK, lengkap dengan Pabrik-pabrik mengolahan primernnya, sehingga eksport masih bisa berjalan.

2. Era REPELITA & PELITA, Adalah era dimana kemampuan Rakyat dalam bidang pertanian dan potensi pertanian di eksplore secara terencana. Pemrograman dan pelaksanaan disemua lini secara terpimpin oleh pemerintah menghasilkan swasembada pangan dan kesejahteraan petani secara merata.

3. Era REFORMASI, Adalah era dimana pemrograman dan pelaksanaan upaya peningkatan pertanian berupa eksplorasi potensi pertanian mengalami interruptus setiap kali terjadi pergantian kekuasaan politik, baik di tingkat nasional maupun di tingkat Daerah. Kita lihat misalnya Booming Jagung dan Ikan Tuna di Gorontalo pada era Fadel Muhammad, ternyata tidak mampu dikendalikan oleh Gubernur berikutnya dan berikutnya, karena adanya perbedaan kemampuan pengelolaan ditingkat nasional dan internasional.

Perbedaan Era 1, 2 & 3 adalah bahwa Pada Era 1 Pengelolaan pertanian berjalan secara Pra-Kapitalisme. Pada Era 2 Pengelolaan Pertanian berjalan dalam Kendali Pemerintah, sehingga hegemoni kapitalisme bisa terkendali dan tidak merugikan Rakyat. Pada Era 3 kondisinya terbalik, Pemerintah cenderung tidak mampu mengendalikan kapitalisme, sehingga hegemoni kapitalime bisa berjalan massif. Dan saat hegemoni kapitalisme mencengkeram suatu negara, maka selalu Rakyat yang akan menjadi korban, dalam konteks ini adalah masyarakat petani.

Sekarang kita melihat dua kutub.. Pra-Kapitalisme dan Kapitalisme. Awalnya Petani kita hidup cukup sebagai marhaen dengan dalam Kutub Pra-kapitalisme. Gotong royong cukup untuk menjawab semua permasalahan. Tetapi ketika kita berbicara tentang peningkatan Produksi, maka kita harus masuk ke konteks modernisme, dimana semua lini pengelolaan diatur secara tersistem. Dari sini kita cenderung tertarik ke Kutub Kapitalisme. Bagaimana agar kita bisa tetap berada di antara 2 kutub itu dengan tetap mengambil manfaat dari advantage masing-masing dan membuang disadvantage masing-masing. 

Ini membutuhkan Jawaban yang panjang lebar, tetapi singkatnya dapat kita katakan bahwa bentuk kerjasama KOPERASI masih merupakan solusi terbaik, yang belakangan ini kita lihat tidak lagi dibina seperti pada Era 2. 

Pembahasan diatas masih belum memasukkan faktor-faktor sub-system lainnya, seperti adanya Petani bermodal yang berubah menjadi tuan-tuan Kapitalis kecil, rentenir (kredit) alat pertanian, anti proteksi, kolusi, Investasi politik, jerat pinjaman luar negeri, dan sebagainya.


Selengkapnya

Saturday, November 23, 2019

PORAK (Polusi Udara Kota) Porandakan Kehidupan Umat Manusia


“A nation that destroys its soils destroys itself. Forests are the lungs of our land, purifying the air and giving fresh strength to our people.” ― Franklin D. Roosevelt

Franklin D. Roosevelt telah menggambarkan bagaimana manusia membutuhkan alam untuk terus dapat bertahan hidup. Ia memaknai bahwa tanah sebagai salah satu sumberdaya alam merupakan sumber kehidupan suatu bangsa yang keberlanjutannya sangat ditentukan oleh keadaan hutan sebagai produsen O2 dan pengendali kualitas udara yang mereduksi CO2 hasil pembakaran kendaraan bermotor dan aktivitas industrialisasi. Menurutnya, hilangnya hutan adalah suatu bagian dari hancurnya suatu bangsa dan juga hilangnya kekuatan alami bagi masyarakat yaitu udara bersih.

Baru-baru ini tagar #UdaraBersihAdalahHakAsasiManusia sempat menjadi trending topic di beberapa media. Udara bersih merupakan bagian dari lingkungan hidup kita yang memiliki peran sangat besar dalam kehidupan sehari-hari seluruh makhluk hidup. Akan tetapi, dalam kenyataannya setiap hari peningkatan polusi udara terus terjadi, salah satu contohnya adalah tingkat polusi udara di Kota Jakarta pada tahun 2019 yang sangat buruk. Green Peace mencatat tingkat polusi udara di Jakarta Selatan mencapai 42.2 µg/m3 dan Jakarta Pusat mencapai 37.5 µg/m3. Dengan kata lain, konsentrasi PM2.5 di Kota Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 µg/m3. Angka tersebut juga telah jauh melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional yang tercantum pada PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m3.

Polusi udara ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di seluruh dunia. Pada hari peringatan Lingkungan Hidup sedunia, yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2019 lalu di Tiongkok, tema yang diangkat yaitu “polusi udara”. Tema ini diambil karena polusi udara telah menjadi ancaman global yang semakin mengkhawatirkan dan mempengaruhi kesehatan umat manusia dan kondisi lingkungan global. PBB menyatakan 9 dari 10 orang sekarang menghirup udara yang tercemar. WHO menyatakan hal ini menyebabkan krisis kesehatan global dengan 7 juta kematian orang per tahun.

Polusi udara juga membunuh 800 orang setiap jam atau 13 orang setiap menit. Jumlah itu 3 kali lebih banyak dibandingkan kematian akibat malaria, tuberculosis, dan AIDS yang digabungkan setiap tahun. Polusi udara dari sektor rumah tangga menyebabkan sekitar 3,8 juta kematian dini setiap tahun. Sebagian besar terjadi di negara berkembang, dan sekitar 60% dari kematian itu terjadi pada perempuan dan anak-anak. Polusi udara bertanggung jawab atas 26% kematian akibat penyakit jantung iskemik, 24% kematian akibat stroke, 43% akibat penyakit paru obstruktif kronis dan 29% akibat kanker paru-paru. Pada anak-anak, polusi udara terkait dengan berat badan lahir rendah, asma, kanker pada masa kanak-kanak, obesitas, perkembangan paru-paru yang buruk, dan autisme.

Berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan di Salt Lake City, Amerika Serikat pada bulan Februari 2019, ditemukan fakta bahwa peningkatan kadar nitrogen dioksida sebanyak 20 mikrogram per meter kubik udara berkorelasi dengan peningkatan kasus keguguran hingga sekitar 16 persen. Dalam penelitian tersebut sekitar 1300 perempuan yang masuk ke unit gawat darurat setelah mengalami keguguran dari tahun 2007 hingga 2015. Hasil penelitian menunjukkan, penyebab utama kasus keguguran adalah naiknya kadar polutan nitrogen dioksida dalam masa satu minggu sebelum keguguran.

Gambar. Dampak Polutan Terhadap Kesehatan Manusia

Fenomena ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan dampaknya didasari oleh beberapa hal yang sejatinya merupakan perbuatan dari ulah manusia sendiri. Lalu apa yang menyebakan pencemaran udara ini? Sejumlah polutan global dan lokal termasuk didalamnya karbon hitam atau jelaga, yang dihasilkan karena system pembakaran yang tidak efisien dari sumber seperti kompor, mesin diesel dan gas metana. Setidaknya terdapat lima sumber utama penyebab terjadinya pencemaran udara, diantaranya: pembakaran bahan bakar fosil di dalam ruangan, kayu dan biomassa lainnya untuk memasak, memanaskan dan menyalakan rumah; industri termasuk pembangkit listrik seperti pembangkit listrik tenaga batu bara dan generator diesel; transportasi terutama kendaraan dengan mesin diesel; pertanian terutama peternakan yang menghasilkan metana dan ammonia, sawah, yang menghasilkan metana dari pembakaran limbah pertanian.; dan pembakaran sampah terbuka dan sampah organic di tempat pembuangan sampah. Secara akumulatif sekitar 25% polusi udara sekitar perkotaan berasal dari partikel halus yang dihasilkan oleh aktivitas transportasi, 20% oleh pembakaran bahan bakar domestik dan 15% oleh kegiatan industri termasuk pembangkit listrik.

Seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara ini, maka PBB membuat gerakan #beatAirPollution yang saat ini sedang di upayakan berbagai pihak. Gerakan ini bertujuan untuk mengurangi polusi udara, mengembangkan alat untuk mendukung pembuatan kebijakan tentang polusi udara dan mitigasi perubahan iklim, mengurangi angka kematian dan penyakit yang ditimbulkan akibat polusi udara, dan berbagai alat industri dan transportasi yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, 82 dari 193 negara memiliki insentif yang mempromosikan investasi dalam produksi energi terbarukan, produksi bersih, efisiensi energi, dan pengendalian polusi.

Dalam mewujudkan hal ini, komitmen pemerintah sangat dibutuhkan. Salah satu bentuk komitmen yang dilakukan pemerintah hari ini dapat dilihat dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang menjadi lokomotif bagi untuk menyediakan transportasi publik dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga emisi gas carbon dapat berkurang. Selain itu bentuk komitmen pemerintah untuk menggunakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan harus dilaksanakan, dikarenakan pada kondisinya PLTU selama ini merupakan penyumbang polusi udara yang cukup besar, khususnya di Indonesia. Pengetahuan masyarakat tentang polusi udara juga harus ditingkatkan, agar dalam upaya penanggulangan puolusi udara, masyarakat juga turut dapat berperan aktif.

Penulis: Ummu, Nur Aeni, dan Faiz (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar)

Selengkapnya

Tuesday, May 14, 2019

Urgensi Pemindahan Ibu Kota



 Oleh: Akbar B. Mappagala

Sejak masa penjajahan Hindia Belanda, Jakarta telah menjadi pusat akivitas pemerintahan dan perdagangan pemerintah kolonial. Terkenal dengan nama Batavia, Jakarta bertransformasi menjadi salah satu ibu kota terkenal di asia bahkan di dunia dibawah naungan Hindia Belanda. Jakarta menjadi pilihan paling realistis kala itu sebab Kota Jakarta telah terbentuk sehingga tinggal mengembangkannya melalui pembangunan infrastruktur. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi ibu kota negara Indonesia yang menjadi titik tumpu berbagai aktivitas skala nasional dengan beban yang cukup besar. Aktivitas yang begitu besar Jakarta harus melayani berbagai macam kebutuhan masyarakat nasional maupun internasional. Dengan luas sebesar 661,5 km2 harus menampung beban jumlah penduduk 10.467.600 jiwa dengan tingkat kepadaatan penduduk sebesar 15824 jiwa/km2 dengan kata lain 1 km2 wilayah Jakarta, dihuni oleh penduduk sebesar 15.824 jiwa.

Ditinjau lebih lanjut secara administrative Ibu kota Jakarta bukan merupakan bentuk kota administraif seperti halnya ibu kota di negara lain, Jakarta merupakan daerah administratif khusus provinsi (DKI) yang memiliki 5 kota administratif dan 1 kabupaten. Ada kekhususan yang berlaku pada daerah administratif ini yang diatur dalam undang undang kekhususan. Sementara itu secara etimologi Ibu kota adalah kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan begitu dapat diartikan bahwa Jakarta merupakan himpunan kota administratif yang menjadi satu wilayah khusus dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara dengan fungsi tambahan lain yang turut berkembang.

Sejarah Pemindahan Ibu Kota

Dalam perjalanan sejarahnya, Republik Indonesia telah mengalami beberapa kali pemindahan ibu kota negara, pada masa awal kmerdekaan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara. Pada masa itu, Pusat pemerintahan terpaksa berpindah ke Yogyakarta menyusul adanya pendudukan Belanda di Jakarta. Pusat pemerintahan sempat pula pindah sementara ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948-6 Juli 1949 namun kembali lagi ke Yogyakarta sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Pemindahan ibu kota ke beberapa daerah dilakukan bukan dalam rangka memecahkan masalah teknis dan problem social ekonomi ibu kota, yang pada saat itu memang belum serumit sekarang. Pemindahahan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk mengamankan simbol negara serta mempertahankan kedaulatan NKRI menyusul pendudukan Belanda di sejumlah kota di Indonesia.

Mengapa Harus Pindah ?

Berdasarkan kajian lembaga pemerhati lingkungan maupun tata ruang perkotaan, pemindahan Ibu kota menjadi tema menarik untuk diulas. Dari hasil riset Greenpeace 2018, Ibu kota Jakarta berada diurutan teratas untuk kaegori kota terpolusi di Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa udara Jakarta sudah tidak layak untuk bagi masyarakat. Kemudian berdasarkan data kementrian perhubungan mengenai rasio jumlah kendaraan yang sangat jauh dari persentase pertumbuhan infrasturktur jalan yang seharusnya 15 % pertahun. Data tersebut sejalan dengan laporan inrix 2017, bahwa jakarta merupakan kota termacet ke 12 di dunia. Belum lagi soal kerugian akibat kemacetan yang sudah mencapai 100 t pertahun, migrasi penduduk yang membuat penduduk Jakarta bertambah pesat, kemiskinan dan disparitas perekonomian diwilayah pinggiran serta degradasi lingkungan Ibu kota Jakarta menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Hal tersebut disebabkan oleh beban Jakarta yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara dan juga sebagai pusat bisnis skala internasional yang menjadikan Jakarta sebagai titik aktivitas pergerakan yang terkonsentrasi dan memliki tarikan yang cukup kuat yang mempengaruhi pergerakan masyarakat secara nasional. Jika ditinjau dari aspek tata ruang ibu kota Jakarta, jauh dari ekspektasi, pemanfaatan ruang yang belum sesuai dengan arahan pedoman rencana tata ruang yang telah dibuat, misalnya dalam pemanfaatan sempadan sungai dan proses normalisasi daerah aliran sungai, yang mengakibatkan bencana banjir tahunan tak pernah bisa dihindari. Padahal peran Jakarta sebagi ibu kota sangatlah vital. Hajat hidup 260 juta masyarakat Indonesia diputuskan disana sehingga dibutuhkan kota yang layak, baik dari sisi daya dukung dan daya tampung ruang sehingga pelayanan terhadap aktivitas yang berjalan dapat efektif dan efisien. Permasalahan yang ada di Jakarta sangat kompleks, multi sector serta belum mampu searah dengan tujuan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan sesuai amanat undang-undang.

Wacana Pemindahan Ibu Kota

Diskusi mengenai pemindahan ibu kota negara republik Indonesia telah ada semenjak awal kemerdekaann. pada saat Bung Karno menyebut palangkaraya sebagai wilayah yang ideal untuk menjadi ibu kota negara ketika meresmikan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1957. Dan bukan kali itu saja Bung Karno menyebut rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya.  Kali kedua, Bung Karno menyampaikan Palangkaraya sebagai calon ibu kota negara pada suatu Seminar di Bandung tahun 1965. Menurut Wijanarka dalam buku Soekarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, “dua kali Bung Karno mengunjungi Palangkaraya, Kalimantan Tengah untuk melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan Indonesia”.  Alasan Preseiden Soekrno memilih Palangkaraya karena letak Palangkaraya yang cukup strategis, berada di tengah-tengah Indonesia. Selain itu, pertimbangan pemerataan pembangunan juga menjadi alasan kuat.

Pada masa pemerintahan SBY wacana ini kembali menguat, bahkan telah dibuat skenario pemindahan ibu kota pada tahun 2010, skenario tersebut diantaranya: Skenario realistis, yaitu ibu kota tetap di Jakarta namun dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memerbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah; Skenario moderat, yaitu pusat pemerintahan dipisahkan dari ibu kota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru; Skenario radikal, yaitu membangun ibu kota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibu kota baru.

Jika ditelaah masing-masing skenario diatas, maka pada skenario pertama, sangat sulit direlisasikan, sampai saat ini belum terlihat perubahan signifikan wajah ibu kota, setelah beberapa metode dan kajian pemecahan masalah diterapkan ibu kota tetap tak bisa keluar dari masalah-masalah pokok yang akan dientaskan. Selanjutanya, untuk skenario kedua, dimana pemisahan ibu kota dari fungsi pemerintahan dengan alasan historis dinilai kurang tepat. Sebab ibu kota negara melekat dengan fungsi pemerintahan dimana ia berkedudukan. Sementara untuk skenario ketiga, dilihat cukup relevan dengan kondisi-kondisi yang ada pada Ibu kota Jakarta saat ini, namun harus tetap dilakukan dengan pertimbangan yang matang dari segi penempatan dan tata ruang serta kemampuan pembiayaan pembangunan ibu kota baru nantinya.

Ibu Kota Pindah Kemana?

Beberapa hari yang lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa Ibu kota Negara Republik Indonesia harus dipindahkan di luar jawa. Keputusan tersebut kemudian mejadi perbicangan di banyak kalangan. Sejalan dengan itu Bappenas selaku institusi yang bertanggung jawab atas kajian dan perencanaan pemindahan ibu kota telah melakukan kajian yang mendalam selama 1,5 tahun terakhir. Baik terhadap kemapuan daya dukung ibu kota Jakarta saat ini maupun daerah-daerah yang menjadi calon ibu kota. Timbul beberapa spekulasi mengenai lokasi yang tepat untuk menjadi ibu kota negara nantinya. Ada 2 pulau yang menurut Bappenas layak dari segi letak strategis maupun daya dukung serta tingkat keamanan dari bencana. Adalah Kalimantan dan Sulawesi, untuk pulau Kalimantan nama yang menguat adalah Palangka Raya Kalimanta Tengah, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Untuk Sulawesi, kandidat yang paling mungkin adalah Mamuju Sulawesi Barat, meskipun sempat juga ada usulan dari tokoh bangsa untuk memasukkan Makassar dan Pare-pare sebagai kandidat calon ibu kota.  Bahkan Gubernur dari keempat provinsi tersebut telah diikutkan dalam diskusi terbatas oleh Bappenas. Memang jika dilihat secara geografis melalui Peta Indonesia, keempat wilayah ini letaknya cukup strategis dan berada di bagian tengah dari wilayah Indonesia. Dengan kata lain, keberadaan ibu kota nantinya akan memangkas jarak dan waktu tempuh menuju ibu kota, utamanya bagi sebagian wilayah yang berada di tengah dan timur Indonesia. Terlepas dari kota mana yang dipilih, tergantung dari hasil kajian Bappenas dan keputusan bersama antara Pemerintah dan DPR.

Pemerataan Pembangunan

Pemindahan ibu kota didasari oleh keberadaan Jakarta yang sudah tidak layak dalam mengakselerasi pembangunan dan mendukung fungsi pemerintahan sebagai fungsi utama ibu kota negara. Banjir, kemacetan, polusi udara, degradasi lingkungan, tata ruang wilayah serta kemiskinan menjadi masalah yang belum juga teratasi. Ketimpangan pembangunan antara pulau jawa dengan pulau lain juga menjadi alasan dalam pemindahan ibu kota di luar jawa.  Selain dari pada itu, pemindahan ibu kota juga sejalan dengan asas pembangunan nasional yaitu pemerataan dan keadilan. Pemerataan pembangunan baik itu infrasruktur maupun sumberdaya manusia, menjadi hal mautlak jika Indonesia ingin menjadi negara maju. Nantinya ibu kota baru akan membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru yang memberi dampak bagi wilayah-wilayah sekitarnya (trickling down effect) dan memantik munculnya aktvitas ekonomi baru (aglomerasi). Dengan begitu ibu kota negara dapat fokus pada pelayanan fungsi pemerintahan dan Jakarta fokus sebagai pusat bisnis dan perdagangan skala nasional dan internasional. Yang tak kalah penting juga adalah komitmen pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Untuk memindahkan ibu kota dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru, diperlukan aturan dan kebijakan yang mempertegas dan mengikat. Perwujudan kebijakan tersebut dilakukan dengan melibatkan partisipasi pihak swasta dan masyarakat baik dalam perencanaan, pemanfaatan seta pengendalian. Dan pada akhirnya, keputusan pemindahan ibu kota harus tetap dimaknai sebagai upaya dan proses dalam menyelesaikan persoalan Jakarta serta meningkatkan kejahteraan masyarakat melalui pemerataan pembangunan yang berkelanjutan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Selengkapnya